Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/03/2020, 12:03 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Editor

Oleh Niel Makinuddin dan Dianing Sari

Hanya dalam hitungan bulan, virus corona Wuhan atau SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 sudah menghambat pertumbuhan ekonomi dunia.

Namun, di luar dari jumlah korban yang terus bertambah, epidemik yang terus meluas (tersebar di 64 negara hingga 2 Maret 2020), muncul sejumlah analisis tentang efek krisis atau darurat iklim dengan masifnya penyebaran virus corona.

Untuk diketahui, krisis iklim merupakan kondisi yang dideklarasikan 11.000 ilmuwan dunia pada November 2019, karena bumi sudah dalam kondisi darurat, bukan lagi perubahan iklim.

Kata darurat iklim ini juga menjadi "word of the year 2019" (kata tahun 2019) dari kamus Oxford yang didefinisikan sebagai kondisi mendesak yang membutuhkan aksi untuk mengurangi atau menahan perubahan iklim dan mencegah kerusakan lingkungan yang tak bisa diperbarui akibat perubahan iklim tersebut.

Baca juga: Update Virus Corona 1 Maret: 86.992 Orang di 65 Wilayah Terinfeksi

Dampak perubahan iklim adalah ancaman nyata, tidak hanya dari bencana, kenaikan suhu, melainkan juga kesehatan manusia.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merilis sebuah laporan panjang berjudul "Climate Change and Human Health - Risks and Responses" pada 2003 silam.

Laporan sebanyak 38 halaman, tersebut menyatakan bahwa perubahan iklim akan berdampak pada : a) mereka yang terpapar langsung dari perubahan cuaca ekstrem; b) mereka yang kesehatannya terdampak dari kondisi lingkungan yang secara bertahap memburuk akibat perubahan iklim; c) konsekuensi ganguan kesehatan yang beragam (trauma, penyakit menular, kekurangan gizi, gangguan psikologis, dan lain-lain), akibat dislokasi populasi dari perubahan iklim.

Pada pilihan yang terakhir, Badan Kesehatan Dunia menyebutkan bahwa pola transmisi penyakit menular sangat dipengaruhi perubahan iklim.

Contohnya adalah penyebaran penyakit yang ditularkan melalui vektor, yang secara bersama-sama dipengaruhi oleh kondisi iklim, pergerakan populasi, pembukaan hutan dan pola penggunaan lahan, hilangnya keanekaragaman hayati (misalnya : predator alami nyamuk), konfigurasi permukaan air tawar, dan kepadatan populasi manusia.

Baca juga: Fase Baru Virus Corona di Amerika Tidak Terdeteksi, Ahli Peringatkan

Lalu, bagaimana kasus virus corona?

Profesor Mikrobiologi dari Johns Hopkins University’s Bloomberg School of Public Health Arturo Casadevall menyatakan bahwa setiap kejadian adanya hari sangat panas di bumi, manusia mengalami suatu peristiwa besar.

Profesor Arturo menjelaskan bahwa patogen (bakteri, virus, dan jamur yang menimbulkan penyakit) bisa bertahan, berkembang biak, dan beradaptasi lebih baik pada suhu yang menghangat, termasuk di suhu tubuh manusia.

Tahun ini, suhu di Antartika memecahkan rekor tertinggi di angka 18 derajat celcius, yang terjadi pada 6 Februari 2020. Kenaikan suhu di Antartika dan melelehnya lapisan es di kutub utara tersebut adalah tanda nyata dari krisis iklim yang bisa dilihat dengan kasat mata.

Bagaimana mencairnya es di dari kutub utara menuju ke penyebaran virus atau penyakit menular? Benang merahnya adalah si pembawa sumber penyakit.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com