Bahkan, proyeksinya dinilai tidak pasti, sebab ilmuwan mengatakan emisi masa depan dapat diimbangi dengan vegetasi bari yang dapat menyerap dan menyimpan karbon dioksida.
Dalam sebuah laporan studi yang dirilis September lalu menyatakan, badan ilmiah perubahan iklim PBB atau IPCC melihat ada dua skenario.
Apabila manusia dapat mencegah pemanasan global pada suhu di bawah dua Celcius sesuai dengan tujuan utama dalam perjanjian iklim Paris 2015, yakni wilayah permafrost menunjukkan penurunan sebesar 24 persen pada 2100.
Baca juga: Perubahan Iklim Bangkitkan Virus Kuno yang Terperangkap dalam Es
Menurut IPCC, dalam kasus yang ekstrem, apabila emisi bahan bakar fosil terus meningkat hingga 50 tahun ke depan, maka satu hal yang mungkin tidak akan terjadi, hingga 70 persen permafrost dapat menghilang.
Studi itu mencatat, model iklim yang ada saat ini tidak diperhitungkan kemungkinan runtuhnya permafrost dalam waktu yang cepat dan jumlah gas yang mungkin dilepaskan. Pencairan lapisan es secara tiba-tiba adalah hal yang cepat dan dramatis.
"Hutan bisa berubah menjadi danau dalam waktu satu bulan, tanah longsor dapat terjadi tanpa peringatan, dan liang rembesan metana yang tidak terlihat bisa saja menelan mobil salju," ungkap Turetsky.
Hal itu merupakan dampak perubahan iklim yang semakin membuat pemanasan global mengancam pelelehan permafrost, lapisan tanah beku di Bumi.
Baca juga: Lapisan Es di Greenland Mencair Tak Lazim, Begini Dampaknya Bagi Dunia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.