JAKARTA, KOMPAS.com – Gempa Tasikmalaya, Jawa Barat, yang terjadi Jumat (15/12/2017) tengah malam masih membekas dalam ingatan, terutama bagi yang berada di sekitar pulau Jawa.
Gempa berkekuatan 6,9 magnitudo itu terjadi sekitar pukul 23.47 WIB. Saat kejadian, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat sejumlah tempat yang memiliki potensi tsunami.
Ciamis dan Tasikmalaya ditetapkan berstatus siaga, sedangkan Garut, Sukabumi, Sindang Barang, Cilacap, Kebumen, Bantul, Kulon Progo berstatus waspada.
Status waspada berpotensi terjadi tsunami dengan ketinggian hingga 0,5 meter, potensi tsunami dengan status siaga sebesar 0,5-3 meter, dan pada status awas ketinggian gelombang diprediksi mencapai lebih dari 3 meter.
Status tersebut kemudian dicabut oleh BMKG pada Sabtu (16/12/2017) pukul 02.26 WIB.
Baca juga : BMKG: Jawa Barat Rawan Gempa Bumi Kuat karena...
Alternatif alat pendeteksi bencana
Sehari berselang, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan ada 22 buoy tsunami yang tidak berfungsi sejak 2012.
Buoy merupakan penanda yang diletakkan di laut agar kapal tidak merapat karena adanya perubahan di laut atau adanya peringatan bahaya. Buoy pada umumnya berwarna terang agar mudah dikenali dari jarak jauh.
Fakta ini perlu dicermati, mengingat Indonesia merupakan negara rawan gempa bumi. Apalagi, negara kepulauan ini berdiri di atas tiga lempeng tektonik: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Lantas, seberapa akuratkah Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) dalam mendeteksi tsunami untuk masyarakat Indonesia?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.