Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tanpa Buoy, Seberapa Akurat Sistem Peringatan Dini Tsunami Kita?

Gempa berkekuatan 6,9 magnitudo itu terjadi sekitar pukul 23.47 WIB. Saat kejadian, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat sejumlah tempat yang memiliki potensi tsunami.

Ciamis dan Tasikmalaya ditetapkan berstatus siaga, sedangkan Garut, Sukabumi, Sindang Barang, Cilacap, Kebumen, Bantul, Kulon Progo berstatus waspada.

Status waspada berpotensi terjadi tsunami dengan ketinggian hingga 0,5 meter, potensi tsunami dengan status siaga sebesar 0,5-3 meter, dan pada status awas ketinggian gelombang diprediksi mencapai lebih dari 3 meter.

Status tersebut kemudian dicabut oleh BMKG pada Sabtu (16/12/2017) pukul 02.26 WIB.

Alternatif alat pendeteksi bencana

Sehari berselang, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan ada 22 buoy tsunami yang tidak berfungsi sejak 2012.

Buoy merupakan penanda yang diletakkan di laut agar kapal tidak merapat karena adanya perubahan di laut atau adanya peringatan bahaya. Buoy pada umumnya berwarna terang agar mudah dikenali dari jarak jauh.

Fakta ini perlu dicermati, mengingat Indonesia merupakan negara rawan gempa bumi. Apalagi, negara kepulauan ini berdiri di atas tiga lempeng tektonik: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.

Lantas, seberapa akuratkah Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) dalam mendeteksi tsunami untuk masyarakat Indonesia?

Kepala Sub Bidang Peringatan Dini Tsunami BMKG, Weniza mengatakan, buoy merupakan salah satu perangkat dari InaTEWS. Sejak tahun 2012, BMKG tak lagi menerima data buoy yang berada di bawah kewenangan BNPB.

“Fungsi buoy adalah sebagai konfirmasi benar bahwa terjadi tsunami atau tidak ada catatan tsunami,” kata Weniza di komplek BMKG, Jakarta, Senin (18/12/2017).

Meski tak memiliki buoy, informasi gempa bumi dan peringat dini tsunami masih bisa dilakukan berdasarkan modeling. Salah satunya menggunakan tide gauge yang berperan dalam mengkonfirmasi ada atau tidaknya tsunami.

Saat terjadi gempa, BMKG akan menerima empat jenis data secara langsung dari seismometer, yakni waktu kejadian gempa, lokasi gempa, kekuatan gempa, dan kedalaman gempa. Seismometer merupakan sensor getaran yang digunakan untuk mendeteksi gempa atau getaran pada permukaan tanah.

Ambil contoh pada gempa Tasikmalaya sebelumnya, gempa terjadi di 42 Km barat daya Kawalu, 7,75 lintang selatan dan 108,11 bujur timur, dengan kekuatan 6,9 magitudo, dan kedalaman gempa sebesar 107 Km.

Data tersebut akan masuk ke dalam Decision Support Syatem (DDS) dan diolah. DSS terdiri dari berbagai informasi dari hasil monitoring gempa, simulasi tsunami, monitoring tsunami dan deformasi kerak bumi setelah gempa terjadi.

Hasil pengolahan data di DSS dapat diketahui ada tidaknya potensi tsunami.

“Keputusannya di DSS. DSS akan mengeluarkan proposal atau rekomendasi bagi BMKG, apakah gempa tersebut berpotensi tsunami atau tidak. Dalam waktu 5 menit setelah gempa, kami kirimkan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami jika gempa itu berpotensi tsunami,” ucap Weniza.

Pada tahap ini, BMKG telah memiliki data spasial perkiraan tsunami, yakni berupa letak potensi tsunami dan ketinggian gelombang.

Analisis terus berlanjut. Pembaruan data dari seismometer dianalisis dan menghasilkan validitas informasi yang lebih baik dibanding 5 menit pertama. Pada 10 menit pasca gempa, BMKG menyebutnya Peringatan Dini Tsunami II.

Pada Peringatan Dini Tsunami I, BMKG mencatat gempa berkekuatan 7,3 magnitudo dengan kedalaman 105 Km. Lokasinya berada di 8,03 lintang selatan dan 108,04 bujur timur atau 74 Km barat daya Kawalu.

Kemudian, perubahan muka laut perlu diketahui untuk mengonfirmasi terjadinya tsunami. Karena tak ada buoy, BMKG menggunakan data dari tide gauge. Lalu, peringatan dini tsunami III pun dikeluarkan.

Keberadaan tide gaude sendiri tersebar di Indonesia. BMKG sendiri punya tujuh tide gauge, tetapi masih ada 108 tide gauge milik Badan Informasi Geospasial dan 21 tide gauge miliki Organisasi Meteorologi Dunia (WTO). Totalnya ada 136 tide gauge yang dioperasikan BMKG.

“Lalu kami akan dapatkan konfirmasi data benar terjadi tsunami. Kalau memang iya, berapa ketinggiannya, berapa waktu kedatagan tsunami di titik itu, itu akan kami cek dari beberapa tide gauge yang lain di sekitar area gempa,” ujar Weniza.

“Setelah kita yakinkan bahwa kurvanya sudah menurun, kita akan bersiap untuk mengeluarkan peringatan dini tsunami ke IV atau pengakhiran. Kira-kira peringatan tsunami IV itu berdasarkan SOP itu akan kelar 2 jam setelah data observasi terakhir,” tambah dia.

Tetap Akurat

Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono menjamin, meski tanpa buoy, sistem peringatan dini tsunami Indonesia masih tetap akurat. Meski demikian, menurut dia, buoy tetap diperlukan untuk menambah instrumen analisis.

“Karena semakin lengkap instrument untuk mengatakan bahwa gempa ini potensi tsunami. Kalau buoy di tengah laut. Kalau tide gauge tsunami sudah di pantai. Kami lebih yakin memberikan warning tsunami dan menyalakan sirine sebagai perintah evakuasi itu lebih mantab. Meskipun kalau kita memodelkan sudah tahu kalau ini tsunami,” kata Daryono.

Menurut Daryono telah terjadi lebih dari 300 tsunami di Indonesia. Jumlah ini masih bisa bertambah mengingat adanya zona subduksi seperti di selatan Jawa, barat Sumatra, selatan Bali, utara Papua, Laut Banda, utara Sulawesi, Maluku utara.

“Gempanya kapan kami tidak tahu. Di zona subduksi tadi minimal ada buoy,” ucap Daryono.

https://sains.kompas.com/read/2017/12/21/173100123/tanpa-buoy-seberapa-akurat-sistem-peringatan-dini-tsunami-kita

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke