KOMPAS.com -- Mungkin Anda sudah membaca artikel tentang ramalan yang menyebutkan bahwa akan terjadi gempa besar yang mengguncang kawasan khatulistiwa pada 2018 nanti. Setelah membaca berita tersebut, tentu sangat wajar bila Anda merasa khawatir.
Ramalan ini bermula dari temuan yang dipresentasikan bulan lalu pada pertemuan tahunan Masyarakat Geologi Amerika oleh Roger Bilham dari University of Colorado, Boulder, dan Rebecca Bendick dari University of Montana, Missoula.
Dalam studi yang dimuat dalam jurnal Geophysical Research Letters, mereka berkata bahwa akan terjadi banyak gempa yang diakibatkan oleh penurunan rotasi bumi pada tahun depan.
Setelah membuat banyak orang merasa takut dengan tulisannya itu, Bendick ternyata merasa "bersalah" dan memberikan penjelasannya.
Baca Juga: Ramalan 2018 sebagai Tahun Gempa, Benar atau Isapan Jempol Belaka?
Berdasarkan korelasi antara sejumlah peristiwa gempa bumi dan fluktuasi periodik rotasi bumi, Bilham dan Bendick berpendapat bahwa mereka bisa memperkirakan kapan gempa bumi akan terjadi.
"Sesuatu yang selalu diharapkan para ilmuwan adalah menemukan semacam alat indikator untuk gempa bumi, karena ini memberi kita peringatan dini sebelum terjadi," kata Bendick pada Washington Post dilansir Selasa (21/11/2017).
Bendick juga membenarkan bahwa kesimpulan tersebut belum final karena belum dilakukan uji laboratorium atau masih butuh studi lanjutan untuk membenarkannya. Namun, mereka terlanjur mendapat reaksi keras dari para ilmuwan lainnya yang dikira hanya mengejar sensasi.
Hal ini dimaklumi dan telah disadari oleh Bendick sebelumnya. Namun, dia berkata bahwa bila prediksi yang tepat bisa menyelamatkan nyawa banyak orang, taruhannya terlalu tinggi untuk tidak dicoba.
Apa yang ditemukan?
Bendick menegaskan bahwa laporannya memberi probabilitas, bukan ramalan, tentang gempa.
Bersama Bilham, dirinya pempelajari dan mengelompokan peristiwa gempa bumi berdasarkan skala dan kurun waktunya.
Hasil statistik menunjukkan bahwa gempa dengan kekuatan skala 7,0 atau lebih yang berulang dalam kurun waktu antara 20 sampai 70 tahun kerap terjadi bersamaan setiap tiga dekade sekali.
Hal ini, kata Bendick, menunjukkan bahwa kejadian dengan interval yang berulang lebih sering terjadi bersamaan daripada acak, dan pola ini signifikan secara statistik.
"Saya mengakui bahwa kesimpulan tersebut kurang menarik, dan lebih menarik bila dikatakan peneliti tahu kapan gempa akan terjadi. Tapi itu geofisika untuk Anda," katanya.
Berikutnya, Bendick dan Bilham juga mencari tahu mengapa gempa tersebut berkumpul dengan mempelajari korelasi antara fenomena global dengan peristiwa gempa yang terjadi dalam waktu yang sama, misalnya dengan fenomena mencairnya es di kutub, perubahan sirkulasi laut, perpindahan momentum antara inti bumi dan litosfer.
Baca juga: Apakah Erupsi Kerinci Terkait Gempa Bumi?