KOMPAS.com - Berdasarkan potensi hasil kajian Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), wilayah pesisir Sukabumi termasuk zona megathurst yang dapat memicu gempa dan tsunami.
Menurut Kepala Pusat Gempabumi dan Tsuni BMKG, Rahmat Triyono, ST, Dipl.Seis, M.Sc, wilayah pesisir Sukabumi secara tektonik berhadapan dengan zona megathurst Samudera Hindia.
Zona megathurst ini merupakan zona subduksi lempeng aktif dengan aktivitas kegempaan yang tinggi.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa wilayah selatan Jawa Barat dan Banten sudah beberapa kali terjadi gempa kuat, seperti pada 22 Januari 1780 (M 8,5), 27 Februari 1903 (M 8,1), dan 17 Juli 2006 (M 7,8).
Hasil kajian BMKG yang dilakukan pada tahun 2011 menunjukkan bahwa zona megathrust selatan Sukabumi memiliki magnitudo gempa tertarget hingga M 8,7.
Baca juga: Gempa Sintang Sabtu Malam, Bukti Kalimantan Tak Sepenuhnya Aman Lindu
Hasil pemodelan peta tingkat guncangan gempa (shakemap) oleh BMKG dengan skenario gempa dengan kekuatan M 8,7 di zona megathrust, menunjukkan dampak gempa di Sukabumi dapat mencapai skala intensitas VIII-IX MMI yang artinya dapat merusak bangunan.
"Jika besaran magnitudo M 8,7 ini digunakan untuk masukan skenario model tsunami, maka wilayah Pantai Sukabumi diperkirakan berpotensi mengalami status ancaman “AWAS” dengan tinggi tsunami di atas 3 meter," imbuh Daryono selaku Kepala Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG.
Hal terpenting yang harus dipahami masyarakat, skenario gempa berkekuatan M 8,7 adalah potensi hasil kajian. Ini bukan prediksi.
Perlu diingat, meski kajian ilmiah mampu menentukan potensi magnitudo di zona megathrust, akan tetapi hingga saat ini teknologi belum mampu memprediksi dengan tepat dan akurat kapan gempa akan terjadi.
Daryono menambahkan, kajian potensi bahaya sangat penting dilakukan untuk tujuan mitigasi dan pengurangan risiko bencana.
Oleh sebab itu, di tengah ketidakpastian kapan akan terjadi gempa yang berpotensi memicu tsunami, maka yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi dengan menyiapkan langkah-langkah kongkrit untuk meminimalkan berbagai risiko.
Di antaranya risiko kerugian sosial, ekonomi, dan korban jiwa seandainya dempa benar terjadi.
"Pemodelan seperti ini dilakukan bukan untuk menakut-nakuti masyarakat. Namun agar pemerintah daerah segera menyiapkan upaya mitigasinya secara tepat, baik mitigasi struktural (teknis) maupun kultural (non teknis)," tegas Daryono.
BMKG menilai dari hasil kajian inilah, pemerintah perlu memperhatikan peta rawan bencana sebelum merencanakan penataan ruang dan wilayah, termasuk dalam hal penataan ruang pantai yang aman tsunami.
"Perlu ada upaya serius dari berbagai pihak dalam mendukung dan memperkuat penerapan atau building code dalam upaya membangun struktur bangunan tahap gempa," tutur dia.
Baca juga: Gempa Seram Timur dan Fakfak Pagi Tadi Dipicu Sesar Aktif Dasar Laut
Adanya hasil kajian potensi oleh para ahli ini, juga diharapkan BMKG tidak sampai membuat masyarakat yang bermukim di dekat sumber gempa dan daerah rawat tsunami dicekam rasa takut dan khawatir.
Warga atau masyarakat daerah yang rawan harus berusaha meningkatkan kemampuan dalam memahami cara penyelamatan saat terjadi gempa dan tsunami, serta mengikutiarahan pemerintah dalam melakukan evakuasi.
"Jalur evakuasi ataupun shelter untuk tempat penyelamatan darurat perlu disiapkan dengan memadai," tutur Daryono.
Tidak hanya itu, sosialisasi di daerah rawan harus digalakkan karena dapat membuat masyarakat lebih siap dalam menghadapi bencana.
Diingatkan BMKG, kesiapan dalam menghadapi bencana terbukti dapat memperkecil jumlah korban.
BMKG menghimbau masyarakat agar tetap tenang dan tidak mudah terpancing isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.