KOMPAS.com – Novel Coronavirus (2019-nCoV) memang tengah mewabah dan dinyatakan oleh World Health Organization (WHO) sebagai darurat dunia. Namun, dalam lingkup yang lebih dekat, ada penyakit yang sudah puluhan tahun “menghantui” masyarakat Indonesia dan sampai saat ini belum tertanggulangi dengan baik.
Adalah Demam Berdarah Dengue (DBD), penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dari nyamuk Aedes aegepti. Pada beberapa kasus, virus dengue juga disebarkan oleh nyamuk Ae. Albopictus yang merupakan penyebar virus cikungunya dan Zika.
“Dari hasil penelitian, Indonesia merupakan negara kedua dengan penderita DBD terbanyak di dunia setelah Brasil,” tutur Dr Tedjo Sasmono, Kepala Unit Penelitian Dengue di Eijkman Institute of Molecular Biology.
Baca juga: Serba-serbi DBD: Penyebab, Gejala, sampai Tanaman Penghalau Nyamuk
Kepada Kompas.com, Kamis (6/2/2020), Tedjo mengatakan epidemi dengue di Indonesia dimulai pada 1968. Tepatnya di Jakarta dan Surabaya.
“Dulu kasusnya masih sedikit, namun sampai sekarang kasusnya sangat meningkat. Pada tahun 1968, prevalensi pasien yang terkena DBD masih 0,05 per 100.000 jiwa. Namun pada 2016, meningkat sangat pesat menjadi 86 per 100.000 jiwa,” paparnya.
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) lewat situs resminya menyebutkan bahwa DBD merupakan masalah kesehatan utama di wilayah tropis dan sub-tropis.
Baca juga: Ancaman DBD di Indonesia dan 3 Hal yang Harus Anda Ketahui
Sampai saat ini, sekitar 3,9 miliar orang di 128 negara di dunia berisiko terinfeksi virus dengue. Diperkirakan, hampir 390 juta kasus infeksi DBD terjadi setiap tahun secara global.
Hal tersebut mengakibatkan hampir 500.000 orang di seluruh dunia membutuhkan perawatan setiap tahunnya, sementara 20.000 orang di antaranya meninggal dunia.
Lebih dari 50 tahun pasca Indonesia terjangkit virus dengue, kasus DBD belum juga bisa diatasi. Bahkan, ada masa-masa di mana terjadinya outbreak (penyebaran secara masif) DBD yang menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB).
“Secara nasional, KLB dilihat terjadi lima tahun sekali. Namun dari data Kementerian Kesehatan, kami bisa melihat puncak dari KLB biasanya terjadi selang enam sampai delapan tahun,” papar Tedjo.
Namun, lanjutnya, kasus DBD di Indonesia tidak bisa digeneralisasi. Tiap daerah memiliki epidemi yang berbeda, dengan karakteristik masing-masing.
“Indonesia bagian barat, tengah, dan timur, pada tahun yang sama memiliki karakteristik epidemi demam berdarah yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh jenis virus, kekebalan komunitas, juga vektor nyamuk,” ungkap Tedjo.
Penyakit DBD tidak sama seperti malaria, di mana virus pada satu daerah bisa dieliminasi. Hal ini dikarenakan penyebab penyebaran DBD terdiri dari banyak faktor.
“Malaria sudah ada obatnya, sementara dengue belum (ada obatnya). Dengue selalu ada di Indonesia dan selalu ada tiap tahun. Selalu berulang,” tutur Tedjo.
Faktor kekebalan populasi adalah salah satu penyebab kasus dengue terus berulang. Tedjo menyebutkan, ketika 50 persen populasi kebal terhadap dengue (karena telah terjangkit dengue sebelumnya), kemungkinan untuk terjadi outbreak dan KLB menjadi rendah.
“Namun ketika kekebalan populasinya rendah, besar kemungkinan satu atau dua tahun setelahnya akan terjadi outbreak. Misal tahun 2014 di Lampung, tercatat kekebalan populasinya rendah sehingga tahun berikutnya terjadi outbreak,” paparnya.
Baca juga: 5 Kesalahpahaman Terbesar tentang DBD dan Nyamuknya
Usai terjadi outbreak, kekebalan populasi akan meningkat. Kemungkinan terjadinya outbreak akan semakin minim di masa depan. Namun, ada satu faktor yang menjadi “pengulang” terjadinya DBD.
“Jangan lupa di setiap daerah pasti ada bayi yang baru lahir. Populasi yang naif, kami menyebutnya. Saat ada populasi naif dan rentan seperti ini, virus dengue masuk, maka akan terkena lagi. Itulah mengapa DBD terus-menerus berulang di Indonesia,” jelas Tedjo.
Gerakan 3M Plus yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih menjadi acuan untuk pencegahan DBD dalam lingkup sekitar.
3M Plus terdiri dari:
Menguras. Minimal satu kali dalam seminggu, kuraslah tempat penampungan air. Sikatlah dinding-dinding tempat penyimpanan air, karena telur nyamuk Aedes aegepty dapat menempel dengan cukup kuat pada dinding penampungan air.
Menutup. Tutup semua wadah yang mengandung air, serta berpotensi menjadi tempat penampungan air hujan.
Menyingkirkan. Singkirkan barang-barang bekas yang kemungkinan dapat menyimpan sisa-sisa air hujan atau genangan air lainnya.
Plus cara lain untuk pencegahan DBD, seperti menaburkan bubuk abate pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan; menggunakan lotion antinyamuk, menggunakan kelambu saat tidur; menaruh ikan di penampungan air; dan menanam tumbuhan pengusir nyamuk.
Menurut Tedjo, pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia harus dilakukan secara multisektor.
“Hal penting yang juga dibutuhkan untuk mencegah outbreak adalah vaksin DBD. Begitu vaksin sudah dibuat, pemerintah bisa mendistribusikannya secara nasional,” tutup Tedjo.