“Namun ketika kekebalan populasinya rendah, besar kemungkinan satu atau dua tahun setelahnya akan terjadi outbreak. Misal tahun 2014 di Lampung, tercatat kekebalan populasinya rendah sehingga tahun berikutnya terjadi outbreak,” paparnya.
Baca juga: 5 Kesalahpahaman Terbesar tentang DBD dan Nyamuknya
Usai terjadi outbreak, kekebalan populasi akan meningkat. Kemungkinan terjadinya outbreak akan semakin minim di masa depan. Namun, ada satu faktor yang menjadi “pengulang” terjadinya DBD.
“Jangan lupa di setiap daerah pasti ada bayi yang baru lahir. Populasi yang naif, kami menyebutnya. Saat ada populasi naif dan rentan seperti ini, virus dengue masuk, maka akan terkena lagi. Itulah mengapa DBD terus-menerus berulang di Indonesia,” jelas Tedjo.
Gerakan 3M Plus yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih menjadi acuan untuk pencegahan DBD dalam lingkup sekitar.
3M Plus terdiri dari:
Menguras. Minimal satu kali dalam seminggu, kuraslah tempat penampungan air. Sikatlah dinding-dinding tempat penyimpanan air, karena telur nyamuk Aedes aegepty dapat menempel dengan cukup kuat pada dinding penampungan air.
Menutup. Tutup semua wadah yang mengandung air, serta berpotensi menjadi tempat penampungan air hujan.
Menyingkirkan. Singkirkan barang-barang bekas yang kemungkinan dapat menyimpan sisa-sisa air hujan atau genangan air lainnya.
Plus cara lain untuk pencegahan DBD, seperti menaburkan bubuk abate pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan; menggunakan lotion antinyamuk, menggunakan kelambu saat tidur; menaruh ikan di penampungan air; dan menanam tumbuhan pengusir nyamuk.
Menurut Tedjo, pencegahan dan penanggulangan DBD di Indonesia harus dilakukan secara multisektor.
“Hal penting yang juga dibutuhkan untuk mencegah outbreak adalah vaksin DBD. Begitu vaksin sudah dibuat, pemerintah bisa mendistribusikannya secara nasional,” tutup Tedjo.