KOMPAS.com – Lebih dari 190 negara berkumpul dalam acara Konferensi untuk Perubahan Iklim PBB atau Conference of the Parties (COP) 25 di Madrid, Spanyol, Desember 2019 lalu.
Konferensi tersebut dilakukan guna merumuskan aturan yang lebih ketat terkait perubahan iklim sebagai tindak lanjut Perjanjian Paris 2015.
Sayangnya, pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan untuk mewujudkan suhu rata-rata global tidak lebih 2 derajat celsius dan menurunkannya hingga 1,5 derajat celsius.
Ini terjadi karena kebanyakan, negara masih berfokus pada masalah teknis dan sempit. Mereka sibuk mengurus pasar karbon dunia, yang memungkinkan negara penghasil karbon memberikan insentif kepada negara penyerap karbon.
Baca juga: Perubahan Iklim, Australia Jadi Negara Terpanas dan Terkering 2019
Padahal, berbagai riset dari sekurang-kurangnya 11.000 ilmuwan setuju jika bumi tengah mengalami darurat iklim.
Badan Penerbangan dan Antariksa atau NASA dari Amerika, misalnya, melaporkan bukti ilmiah perubahan iklim.
Laporan tersebut menyebutkan, selama ini tren pemanasan global secara signifikan meningkat lebih dari 95 persen, disebabkan oleh aktivitas manusia sejak pertengahan abad ke-20.
Beberapa bukti tersebut seperti meningkatnya suhu global, memanasnya air laut, mencairnya gletser, hingga meningkatnya permukaan air laut.
Untuk ikut mengawal isu penting ini, Kompas.com telah merangkum beberapa isu dan agenda lingkungan yang patut menjadi perhatian semua pihak.
Baca juga: Sebelum Perubahan Iklim Drastis, Apa Rencana Jangka Panjang Kita?
Pada 2019 lalu, PBB melaporkan 1 juta spesies binatang dan tumbuhan terancam akan mengalami kepunahan.
Laporan tersebut menyebut lebih dari setengah juta spesies mati di daratan karena berkurangnya habitat. Kehilangan ini pun terjadi lebih cepat puluhan hingga ratusan kali dari yang diprediksi.
Keadaan ini pun disebut akan mengancam keamanan pangan, air, kesehatan manusia, hingga memicu masalah sosial lainnya.
Center of Biological Diversity menyebutkan 99 persen spesies tumbuhan dan binatang yang terancam tersebut adalah gara-gara ulah manusia, yang mendorong berkurangnya habitat dan pemanasan global.
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebut, bulan Juni 2019 lalu merupakan bulan Juni terpanas yang pernah terjadi dalam 140 tahun terakhir.
Baca juga: UN Peringatkan Potensi Cuaca Ekstrem, Tahun Ini dan Seterusnya
Bahkan, masih dalam laporan NOAA, sembilan dari sepuluh bulan Juni yang terpanas terjadi sejak 2010. Hal ini membuat dekade 2010-2019 menjadi yang terpanas.
Tak hanya itu, tahun lalu beberapa negara di Eropa mengalami rekor suhu terpanasnya, sedangkan gelombang panas melanda Australia dengan suhu hingga 40 derajat Celsius.
Dengan kondisi seperti ini, tak pelak cuaca ekstrem akan menjadi langganan setiap tahun.
Deforestasi di Brasil terus melonjak hingga tahun lalu. Deforestasi ini kemudian memicu kebakaran hutan Amazon yang menghanguskan 4,6 juta hektar lahan.
Baca juga: NASA: Asap Kebakaran Hutan Australia Menyebar ke Seluruh Dunia
Dikutip dari CNN, Minggu (1/9/2019), para pakar menyebut wilayah di hutan Amazon sedang mengalami kemarau tapi lebih basah dari tahun-tahun sebelumnya. Ahli pun menyebut kebakaran tersebut tidak bersifat alami.
Tak hanya itu, pada 2019 lalu kebakaran semak juga kembali melanda Australia hingga mencapai 14,6 juta hektar.
Sementara itu, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia kembali terjadi dan mengakibatkan hampir 900.000 hektar lahan terbakar.
Beberapa ilmuan pun meyakini kebakaran tersebut disebabkan krisis politik dari para pemimpin dunia. Sebab, beberapa kebakaran tersebut dilatarbelakangi alasan finansial.
Brasil, misalnya, Presiden Jair Bolsonaro secara terbuka mengatakan akan membuka lahan di hutan Amazon, meski mendapatkan tentangan keras dari pakar lingkungan.
Baca juga: Kebakaran Hutan Australia, Ini 6 Fakta yang Harus Anda Tahu
Di Indonesia, kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan diduga terjadi guna membuka lahan untuk penanaman kelapa sawit.
The Guardian mengutip Agensi Internasional untuk Energi (IEA) menyebut, persediaan energi terbarukan terus bertambah dengan cepat. Diperkirakan dalam lima tahun mendatang persediaan energi terbarukan akan bertambah 50 persen.
Laporan tersebut memprediksi pada 2024 nanti energi matahari akan murah dan pertumbuhannya dapat mencapai 600 Giga Watt (GW).
Pertumbuhan ini pun diharapkan akan mencapai 1.200 GW dalam lima tahun mendatang. Angka ini setara dengan jumlah kapasitas listrik di Amerika Serikat.
Baca juga: Dibanding Matahari, Arus Laut Lebih Potensial Jadi Energi Terbarukan
Kabar baik ini pun harus terus didukung guna mengganti bahan bakar fosil yang menaikkan konsentrasi karbon dan menjadi salah satu penyebab utama pemanasan global.
Selain isu lingkungan yang patut diperhatikan, ada pula agenda penting yang harus dikawal dalam mendukung perubahan secara struktural. Salah satunya COP 26 di Glasgow.
Konferensi itu diagendakan berlangsung pada akhir Desember 2020. Konferensi ini akan menjadi yang terbesar dan terpenting setelah penandatangan Perjanjian Paris pada 2015 lalu.
Diperkirakan, 30.000 delegasi dan hampir 200 negara akan hadir dalam pertemuan tersebut.
Baca juga: Curah Hujan Lebih Deras, BMKG Sebut Pemicunya Perubahan Iklim
Adapun topik yang dibahas dalam pertemuan ini terbilang krusial, yakni menurunkan suhu hingga 1,5 derajat Celsius dan mewujudkan emisi nol dunia pada 2050 akan diuji.
Topik tersebut sangat krusial mengingat ada beberapa negara yang berkomitmen terhadap pengurangan emisi di dunia.
Isu seksi lain yang dibahas adalah pendanaan iklim dari negara kaya yang menandatangani Persetujuan Copenhagen 2009.
Persetujuan Copenhagen 2009 adalah deklarasi tentang aksi nyata untuk mengurangi emisi termasuk memberi bantuan finansial kepada negara berkembang.
Pasalnya, setiap tahun negara-negara tersebut akan menggelontorkan dana sebesar 100 triliun dollar AS tiap tahun untuk membentuk Green Climate Fund (lembaga finansial di bawah PBB untuk membantu pendanaan investasi rendah emisi).
Lembaga tersebut akan membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi. Tak hanya itu, topik perdagangan karbon juga akan dibahas mengingat hal ini tidak efektif.
Baca juga: RI Butuh Rp 1.065 Triliun untuk Pengendalian Perubahan Iklim
Selain agenda dari pemerintah dunia, banyak juga aktivitas dari berbagai kelompok masyarakat yang patut diperhatikan aksinya guna mendukung penanganan krisis iklim. Salah satunya Extinction Rebellion.
Extinction Rebellion adalah gerakan lingkungan secara global tanpa kekerasan untuk mendesak pemerintah mengambil tindakan terkait krisis iklim.
Gerakan dengan jargon “kita sedang berada di ujung kepunahan massal” ini sudah menginisiasi berbagai demonstrasi besar di berbagai belahan dunia dan mengambil simpati berbagai pihak.
Kampanye ini pun patut didukung karena di beberapa negara berhasil menjadi perbincangan publik.
Baca juga: Joaquin Phoenix Ditahan Polisi Usai Orasi di Aksi Protes Perubahan Iklim
The Guardian bahkan menyebut isu krisis iklim sudah masuk dalam lima topik terpenting yang dibahas di Inggris.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.