Tak hanya itu, tahun lalu beberapa negara di Eropa mengalami rekor suhu terpanasnya, sedangkan gelombang panas melanda Australia dengan suhu hingga 40 derajat Celsius.
Dengan kondisi seperti ini, tak pelak cuaca ekstrem akan menjadi langganan setiap tahun.
Deforestasi di Brasil terus melonjak hingga tahun lalu. Deforestasi ini kemudian memicu kebakaran hutan Amazon yang menghanguskan 4,6 juta hektar lahan.
Baca juga: NASA: Asap Kebakaran Hutan Australia Menyebar ke Seluruh Dunia
Dikutip dari CNN, Minggu (1/9/2019), para pakar menyebut wilayah di hutan Amazon sedang mengalami kemarau tapi lebih basah dari tahun-tahun sebelumnya. Ahli pun menyebut kebakaran tersebut tidak bersifat alami.
Tak hanya itu, pada 2019 lalu kebakaran semak juga kembali melanda Australia hingga mencapai 14,6 juta hektar.
Sementara itu, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia kembali terjadi dan mengakibatkan hampir 900.000 hektar lahan terbakar.
Beberapa ilmuan pun meyakini kebakaran tersebut disebabkan krisis politik dari para pemimpin dunia. Sebab, beberapa kebakaran tersebut dilatarbelakangi alasan finansial.
Brasil, misalnya, Presiden Jair Bolsonaro secara terbuka mengatakan akan membuka lahan di hutan Amazon, meski mendapatkan tentangan keras dari pakar lingkungan.
Baca juga: Kebakaran Hutan Australia, Ini 6 Fakta yang Harus Anda Tahu
Di Indonesia, kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan diduga terjadi guna membuka lahan untuk penanaman kelapa sawit.
The Guardian mengutip Agensi Internasional untuk Energi (IEA) menyebut, persediaan energi terbarukan terus bertambah dengan cepat. Diperkirakan dalam lima tahun mendatang persediaan energi terbarukan akan bertambah 50 persen.
Laporan tersebut memprediksi pada 2024 nanti energi matahari akan murah dan pertumbuhannya dapat mencapai 600 Giga Watt (GW).
Pertumbuhan ini pun diharapkan akan mencapai 1.200 GW dalam lima tahun mendatang. Angka ini setara dengan jumlah kapasitas listrik di Amerika Serikat.
Baca juga: Dibanding Matahari, Arus Laut Lebih Potensial Jadi Energi Terbarukan
Kabar baik ini pun harus terus didukung guna mengganti bahan bakar fosil yang menaikkan konsentrasi karbon dan menjadi salah satu penyebab utama pemanasan global.
Selain isu lingkungan yang patut diperhatikan, ada pula agenda penting yang harus dikawal dalam mendukung perubahan secara struktural. Salah satunya COP 26 di Glasgow.
Konferensi itu diagendakan berlangsung pada akhir Desember 2020. Konferensi ini akan menjadi yang terbesar dan terpenting setelah penandatangan Perjanjian Paris pada 2015 lalu.