"Barulah di akhir tahun 80-an, permulaan 90-an, para penyelam dapat mencapai tempat tersebut. Saat itu, mereka hanya dapat melihat sebagian saja dari beberapa puing.
Baca juga: Soal Usulan Presiden Trump, Bisakah Bom Nuklir Hancurkan Badai?
"Kami menggunakan teknologi sonar canggih: kami dapat menggambarkan keseluruhan tempat. Ini seperti mengunjungi Grand Canyon dengan hanya menggunakan senter dibandingkan mendatanginya di tengah hari dimana seluruh tempat mendapatkan cahaya.
"Kami dapat melihat pengaturan kapal; kami dapat melihat bagaimana kaitannya; dan kami dapat melihat bahwa kawahnya masih ada - alam memperlihatkan kepada kita luka yang dideritanya karena bom."
Uniknya, kawah memiliki bentuk seperti kelopak mawar. Ini membuktikan bahwa semua materi yang terlempar ke angkasa, turun kembali lewat "tiang" air dan menyebar di dasar laut.
Salah satu tujuan survei adalah untuk memahami pengaruhnya kepada lingkungan dengan lebih baik. Meskipun tingkat radiasinya sudah jauh lebih rendah, masih terjadi masalah lingkungan.
Kapal tua angkatan laut AS, Jepang dan Jerman tersebut tidak dipersiapkan menjadi karang buatan, sehingga kapal tidak dikosongkan.
Kapal-kapal ditempatkan dalam posisi operasional, yang berarti kapal berisi bahan bakar dan mesiu.
"Saat kami memetakan, saya dapat mengetahui tanpa harus melihat ke atas bahwa kami di dekat Saratoga, karena dapat mencium bahan bakar di tempat penyimpanan; baunya sangat tajam dan bahan bakar masih merembes.
"Bahan bakar Nagato - kapal Jepang yang (Laksamana Isoroku) Yamamoto gunakan untuk merencanakan serangan terhadap Pearl Harbour - masih merembes sampai berkilometer."
Sementara kapal-kapal terus menguraikan diri di air, polusi dapat menimbulkan masalah yang jauh lebih besar, kata Dr Trembanis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.