Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sudah 70 Tahun, Pulau Karang Bikini Masih Rusak Akibat Ledakan Bom Atom

Kompas.com - 17/12/2019, 08:13 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Editor

KOMPAS.com - Pada 25 Juli 1946, bom atom kelima diledakkan di Bikini Atoll, pulau karang berbentuk cincin di Samudra Pasifik. Ini merupakan peledakan pertama kali yang dilakukan di dasar laut.

Foto-foto memperlihatkan awan jamur raksasa muncul dari Samudra Pasifik, menyapu kapal-kapal yang sengaja diletakkan disana untuk mengetahui kekuatan nuklir.

Selang 73 tahun kemudian, para ilmuwan meneliti dasar laut.

Ternyata kawahnya masih ada, demikian juga dengan berbagai kapal.

"Bikini dipakai karena letaknya terpencil dan lagunanya yang luas dan mudah diakses," kata pimpinan tim Art Trembanis dari University of Delaware, AS.

Baca juga: Kepunahan Dinosaurus Dipicu Asteroid Berkekuatan 10 Miliar Bom Atom

"Saat itu, (pelawak terkenal Amerika) Bob Hope mengatakan, 'begitu perang berakhir, kita menemukan satu tempat di bumi yang tidak tersentuh perang dan kemudian kita meledakkannya'."

Dua tes AS, Able dan Baker, dilakukan di atol yang kemudian dikenal sebagai Operation Crossroads. Bom tes Baker yang dinamakan Helen of Bikini, adalah sebuah bom berkekuatan 21 kiloton yang ditempatkan di bawah dasar laut Pasifik.

CSHEL UNIVERSITY OF DELAWARE Peta dasar laut. Kapal perang tenggelam di sekitar kawah.

Ledakan memuntahkan dua juta ton air, pasir dan karang ke angkasa.

Meskipun energi yang dihasilkan begitu kuatnya, sebelumnya Dr Trembanis menduga bahwa sekarang sebagian besar dasar laut yang rusak sudah tertutup sedimen.

Tetapi tim interdisipliner ahli kelautan, geolog, arkeolog laut dan teknik menemukan cekungan yang masih sangat jelas.

Dengan menggunakan sonar, mereka memetakan struktur selebar 800 meter dengan pahatan sekitar 10 meter.

CSHEL UNIVERSITY OF DELAWARE Penyelam memeriksa salah satu geladak senjata kapal USS Saratoga.

"Sepertinya Captain Marvel sendiri meninju planet dan meninggalkan bekas," kata Dr Trembanis kepada para wartawan pada pertemuan American Geophysical Union.

"Kami ingin menyingkap tirai untuk benar-benar dapat mengungkapkan kejadiannya," katanya kepada BBC.

"Barulah di akhir tahun 80-an, permulaan 90-an, para penyelam dapat mencapai tempat tersebut. Saat itu, mereka hanya dapat melihat sebagian saja dari beberapa puing.

Baca juga: Soal Usulan Presiden Trump, Bisakah Bom Nuklir Hancurkan Badai?

"Kami menggunakan teknologi sonar canggih: kami dapat menggambarkan keseluruhan tempat. Ini seperti mengunjungi Grand Canyon dengan hanya menggunakan senter dibandingkan mendatanginya di tengah hari dimana seluruh tempat mendapatkan cahaya.

"Kami dapat melihat pengaturan kapal; kami dapat melihat bagaimana kaitannya; dan kami dapat melihat bahwa kawahnya masih ada - alam memperlihatkan kepada kita luka yang dideritanya karena bom."

ARTHUR TREMBANIS Bagian belakang kapal induk USS Saratoga yang rusak.

Uniknya, kawah memiliki bentuk seperti kelopak mawar. Ini membuktikan bahwa semua materi yang terlempar ke angkasa, turun kembali lewat "tiang" air dan menyebar di dasar laut.

Salah satu tujuan survei adalah untuk memahami pengaruhnya kepada lingkungan dengan lebih baik. Meskipun tingkat radiasinya sudah jauh lebih rendah, masih terjadi masalah lingkungan.

Kapal tua angkatan laut AS, Jepang dan Jerman tersebut tidak dipersiapkan menjadi karang buatan, sehingga kapal tidak dikosongkan.

CSHEL UNIVERSITY OF DELAWARE Peta lereng memperlihatkan struktur pola kawah Baker yang mirip mawar.

Kapal-kapal ditempatkan dalam posisi operasional, yang berarti kapal berisi bahan bakar dan mesiu.

"Saat kami memetakan, saya dapat mengetahui tanpa harus melihat ke atas bahwa kami di dekat Saratoga, karena dapat mencium bahan bakar di tempat penyimpanan; baunya sangat tajam dan bahan bakar masih merembes.

"Bahan bakar Nagato - kapal Jepang yang (Laksamana Isoroku) Yamamoto gunakan untuk merencanakan serangan terhadap Pearl Harbour - masih merembes sampai berkilometer."

Sementara kapal-kapal terus menguraikan diri di air, polusi dapat menimbulkan masalah yang jauh lebih besar, kata Dr Trembanis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com