KOMPAS.com - Beberapa bulan lalu, tepatnya 19 Desember 2018, sebuah meteor meledak di atas langit Laut Bering, Rusia. Ledakan besar itu bahkan setara dengan 173 kiloton TNT.
Marufin Sudibyo, seorang astronom amatir, menyebut peristiwa ini dengan Peristiwa Bering 2018. Kejadian langka ini terdeteksi setidaknya oleh 3 instrumen berbeda.
Ketiga insrumen tersebut adalah , yaitu satelit mata-mata AS, satelit Himawari milik Jepang, dan radar mikrobarometer di daratan yang terpasang di stasiun infrasonik bagian dari jaringan lembaga pengawas penegakan larangan uji coba nuklir (CTBTO) milik PBB.
"Baik satelit mata-mata AS maupun radar mikrobarometer dirancang untuk mengendus aktivitas peledakan nuklir khususnya pada matra atmosferik dan permukaan bumi," ungkap Marufin kepada Kompas.com, Selasa (19/03/2019).
Baca juga: Nasa Ungkap Energi Ledakan Meteor Dahsyat di Kuba, Sekitar 1.400 TNT
"Satelit mata-mata AS merekam pancaran sinar inframerahnya (meteor tersebut) dan spontan membandingkannya dengan kurva inframerah khas detonasi senjata nuklir," imbuhnya.
Sementara itu, menurut Marufin, radar mikrobarometer mengendus gelombang infrasonik berpola khas pula.
"Dalam Peristiwa Bering 2018, satelit mata-mata AS merekam pancaran energi optis sebesar 130 TeraJoule. Titik pelepasan energi optis itu terjadi di ketinggian 26 km di atas permukaan laut," ujar Marufin.
"Sehingga diperhitungkan energi total peristiwa ini mencapai 173 kiloton TNT," tambahnya.
Analisis Departemen Pertahanan AS tersebut kemudian dipublikasikan di laman resmi NASA. Hasilnya, kata Marufin, memperlihatkan obyek yang terlibat dalam Peristiwa Bering 2018 memiliki kecepatan 32 km/detik (115.200 km/jam).
Sementara itu, radar mikrobarometer IS18 yang terpasang di pulau Greenland (Denmark) merekam sinyal infrasonik dalam durasi 20 - 25 detik pada saat yang sama.
"Radar mikrobarometer tidak bisa menghasilkan perkiraan energi total sebuah peristiwa di langit, karena akurasinya buruk. Namun secara kasar dapat diperkirakan energi totalnya mendekati 200 kiloton TNT sehingga secara teknis sama dengan hasil pantauan satelit mata-mata AS," tutur Marufin.
"Analisis saya pribadi mengindikasikan obyek penyebab Peristiwa Bering 2018 adalah asteroid," tegas Marufin.
Lebih lanjut, dia menjelaskan tentang ukuran asteorid tersebut.
"Jika dianggap berbentuk bulat, asteroidnya berdiameter ~9 meter dengan massa 1.400 ton dan komposisi kemungkinan identik dengan meteorit akondrit (massa jenis 4 g/cm3)," kata Marufin.
Baca juga: Tak Hanya Gesekan, Ilmuwan Ungkap Sebab Meteor Meledak di Atmosfer
"Jika mengacu NASA bahwa obyek memasuki atmosfer Bumi dengan membentuk sudut 70 derajat terhadap bidang horisontal, maka perhitungan saya (dengan menggunakan algoritma Collins dkk) menunjukkan asteroid seukuran ini secara statistik akan jatuh ke Bumi setiap 28 tahun sekali," tegasnya.