KOMPAS.com - Sagu diyakini menjadi sumber pangan yang fungsional. Tak hanya Indonesia, sagu juga diyakini bisa menjawab kebutuhan pangan secara global.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia, negara eksportir sagu terbesar adalah Malaysia. Sementara negara yang konsen melakukan penelitian terhadap sagu adalah Jepang.
Baca juga: Sagu Papua untuk Kebutuhan Pangan Indonesia dan Dunia
Jika dimanfaatkan dengan benar, sagu bisa menjadi salah satu sumber kesejahteraan bagi Indonesia. Bagaimana peluang dan tantangannya?
Banyak pihak yang mengaggap sagu sangat potensial untuk dijadikan sumber pangan fungsional global, juga meningkatkan perekonomian masyarakat.
1. Sagu pati batang empulur sangat adaptif terhadap perubahan iklim dan tidak terpengaruh oleh musim.
2. Produktivitas tinggi. Tumbuhan sagu bisa menghasilkan pati sekitar 200 kilogram per batang, empat kali lebih banyak daripada yang dihasilkan beras.
3. Ramah lingkungan, selain positif dalam aspek ekonomi, pohon sagu juga ramah terhadap lingkungan karena bisa tumbuh tanpa harus mengubah kawasan penanamannya menjadi hutan monokultur.
4. Bisa diolah dan menjadi utama berbagai jenis makanan seperti, sagu mutiara, kue kering, biskuit, kue basah, mi, bakso, sosis, nugget, kue beras, beras sagu, dan juga kerupuk.
5. Pangan fungsional yang bebas gluten, starch, dan memiliki indeks glikemik yang rendah.
6. Papua memiliki cadangan sagu terbesar di Indonesia, dan saat ini belum banyak perusahaan industri yang berfokus pada sagu di Papua, salah satunya adalah ANJ Agri Papua (ANJAP).
Seorang koki asal Papua, Ombles Toto, mengatakan bahwa di Papua sendiri sagu sudah tidak banyak lagi yang mengkonsumsi karena tergantikan dengan sumber pangan beras.
"Di Papua sendiri, dua - tiga tahun ini baru ada geliat dari pemerintah tentang sagu. Sementara sudah 40 tahunan masyarakat sudah tidak bergantung dengan sagu lagi," kata Toto dalam acara peluncuran Buku Sagu Papua untuk Dunia di Jakarta, Senin (25/11/2019).
Hal itu dikarenakan, kata Toto, adanya pemahaman dan persaingan kelas sosial yang terjadi di masyarakat Papua.
"Beras itu kan dari luar Papua, harganya lebih mahal, jadi sebuah kelas sosial, mereka yang makan itu beras artinya lebih berada (punya uang)," tuturnya.
Baca juga: 3 Kehebatan Sagu Dibanding Nasi, dari Bebas Gluten hingga GI Rendah
Selain itu, saat ini sumber pangan yang disuplai oleh pemerintah adalah beras. Jadi ini menimbulkan ketidakpercayaan diri dari masyarakat terhadap pangan lokal.