Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peluang dan Tantangan Sagu, untuk Indonesia yang Lebih Sejahtera

Kompas.com - 28/11/2019, 19:06 WIB
Ellyvon Pranita,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sagu diyakini menjadi sumber pangan yang fungsional. Tak hanya Indonesia, sagu juga diyakini bisa menjawab kebutuhan pangan secara global.

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia, negara eksportir sagu terbesar adalah Malaysia. Sementara negara yang konsen melakukan penelitian terhadap sagu adalah Jepang.

Baca juga: Sagu Papua untuk Kebutuhan Pangan Indonesia dan Dunia

Jika dimanfaatkan dengan benar, sagu bisa menjadi salah satu sumber kesejahteraan bagi Indonesia. Bagaimana peluang dan tantangannya?

Peluang sagu

Banyak pihak yang mengaggap sagu sangat potensial untuk dijadikan sumber pangan fungsional global, juga meningkatkan perekonomian masyarakat.

1. Sagu pati batang empulur sangat adaptif terhadap perubahan iklim dan tidak terpengaruh oleh musim.

2. Produktivitas tinggi. Tumbuhan sagu bisa menghasilkan pati sekitar 200 kilogram per batang, empat kali lebih banyak daripada yang dihasilkan beras.

3. Ramah lingkungan, selain positif dalam aspek ekonomi, pohon sagu juga ramah terhadap lingkungan karena bisa tumbuh tanpa harus mengubah kawasan penanamannya menjadi hutan monokultur.

4. Bisa diolah dan menjadi utama berbagai jenis makanan seperti, sagu mutiara, kue kering, biskuit, kue basah, mi, bakso, sosis, nugget, kue beras, beras sagu, dan juga kerupuk.

5. Pangan fungsional yang bebas gluten, starch, dan memiliki indeks glikemik yang rendah.

6. Papua memiliki cadangan sagu terbesar di Indonesia, dan saat ini belum banyak perusahaan industri yang berfokus pada sagu di Papua, salah satunya adalah ANJ Agri Papua (ANJAP).

Gani Nu, sagu bakar makanan khas warga di Lopintol, Raja Ampat.KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN Gani Nu, sagu bakar makanan khas warga di Lopintol, Raja Ampat.

Tantangan sagu

Seorang koki asal Papua, Ombles Toto, mengatakan bahwa di Papua sendiri sagu sudah tidak banyak lagi yang mengkonsumsi karena tergantikan dengan sumber pangan beras.

"Di Papua sendiri, dua - tiga tahun ini baru ada geliat dari pemerintah tentang sagu. Sementara sudah 40 tahunan masyarakat sudah tidak bergantung dengan sagu lagi," kata Toto dalam acara peluncuran Buku Sagu Papua untuk Dunia di Jakarta, Senin (25/11/2019).

Hal itu dikarenakan, kata Toto, adanya pemahaman dan persaingan kelas sosial yang terjadi di masyarakat Papua.

"Beras itu kan dari luar Papua, harganya lebih mahal, jadi sebuah kelas sosial, mereka yang makan itu beras artinya lebih berada (punya uang)," tuturnya.

Baca juga: 3 Kehebatan Sagu Dibanding Nasi, dari Bebas Gluten hingga GI Rendah

Selain itu, saat ini sumber pangan yang disuplai oleh pemerintah adalah beras. Jadi ini menimbulkan ketidakpercayaan diri dari masyarakat terhadap pangan lokal.

"Mengembalikan kepercayaan diri dari masyarakat tentang potensi lokal dan juga bulog dari pemerintah itu kalau bisa sagu yang disuplai kemana-mana, bukan hanya beras," ujar dia.

Dalam kesempatan yang sama, Founder dan Chairperson Javara Indigenous Indonesia, Helianti Hilman, mengatakan bahwa pangan yang terlupakan seperti sagu itu pada dasarnya akan kembali jika menjadi makanan yang dibutuhkan, makanan fungsional dan juga menjadi gaya hidup.

"Kalau sekarang sagu tidak bisa menjadi makanan kebutuhan, dia (sagu) bisa mengambil pasar sebagai makanan fungsional yang bisa dijadikan apa saja, atau mengikuti dan alternatif arus lifestyle yang semakin marak berkembang," ujarnya.

Baca juga: Tak Cuma Papeda, Sagu Kaya Gizi Bisa Dijadikan 6 Makanan Olahan Ini

Namun karena Hilman sudah berkecimpung dalam pengelolaan makanan tradisional yang terlupakan, menurut dia, meskipun masyarakat urban mungkin tertarik dengan manfaat atau keunggulan sebuah bahan makanan, tetapi mereka cenderung lebih menyukai atau konsumtif terhadap makanan yang praktis.

"Jadi kita itu sudah riset ya dengan produk kita sendiri, mereka yang kategori masyarakat urban, misalnya mereka datang tanya-tanya tertarik dengan bahan pembuatannya. Meskipun kita juga menjual bahan utamanya tepung dari umbi misal, tapi mereka itu pasti membelinya yang sudah tinggal makan saja, praktis," ucap dia.

Secara umum, masyarakat akan tertarik membeli jika produk telah lebih dahulu terjual di luar negeri dan juga sudah banyak terjual secara retail di pasaran.

"Kami pernah menjual produk di Indonesia dulu awalnya tapi gak begitu banyak yang berminat, lalu kami coba jual di luar (luar negeri), akhirnya setelah banyak yang tahu itu laku di luar, banyak juga permintaan dari dalam. Ini mungkin persoalan trendi atau daya saing kekinian versi masyarakat kali ya. Juga kalau ini (produk bahan utama sagu) tidak banyak dipasaran ya sulit bisa jadi alternatif pangan masyarakat," ujarnya.

Baca juga: BPPT Hadirkan Beras Sagu yang Aman bagi Penderita Diabetes

Seperti terigu ataupun tepung beras, yang saat ini menjadi pilihan utama ibu rumah tangga atau produsen kue dalam membuat makanan, dikarenakan bahan utamanya banyak tersedia di pasaran secara luas.

Jika ingin membuat sagu menjadi pilihan masyarakat, kata dia, baiknya menyediakan sagu pati empulur ini dalam jumlah banyak atau retail ke pasaran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com