Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3 Kehebatan Sagu Dibanding Nasi, dari Bebas Gluten hingga GI Rendah

Kompas.com - 27/11/2019, 13:22 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebagai salah satu sumber pangan dan termasuk keanekaragaman hayati nusantara, sagu ternyata memiliki banyak nutrisi yang sepatutnya dipertimbangkan untuk dikonsumsi kembali.

Peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Kementerian Pertanian, Endang Yuli Purwani, menjelaskan bahwa sagu sebenarnya bisa menjadi pilihan yang baik karena merupakan pati murni.

Namun, sagu yang dimaksud oleh Endang adalah pati yang berasal dari dalam empulur atau batang tumbuhan yang sering dikenal dengan tumbuhan batang sagu.

"Jika dibandingkan dengan beras. Beras itu ada protein, lemak, mineral, dan sebagainya. Kalau sagu itu sebagai pati murni. Rasanya juga tidak segurih beras atau nasi. Tapi itu jangan dianggap sebagai pembatas, ada keunggulannya," kata Endang dalam acara peluncuran buku Sagu Papua untuk Dunia di Jakarta, Senin (25/11/2019).

Baca juga: Sagu Papua untuk Kebutuhan Pangan Indonesia dan Dunia

Bebas gluten

Gluten merupakan protein yang terdapat di dalam gandum, oat atau barley. Makanan kekinian yang terbuat atau berbahan dasar gandum memiliki kandungan gluten yang tinggi. Padahal, protein ini bisa memicu penyakit coeliac atau celiac (sensistif gluten) pada orang tertentu.

Ketika orang yang menderita celiac mengkonsumsi makanan yang mengandung gluten maka sistem kekebalan tubuhnya akan rusak dan usus kecilnya akan terluka, sehingga menyebabkan masalah seperti diare, kembung, penurunan berat badan, bahkan pendarahan.

"(Sagu) Ini baik untuk mereka yang sensitif terhadap gluten, karena makan makanan yang berbahan dasar gandum misalnya itu justru bahaya karena kandungan gluten dari gandum itu tinggi," kata Endang.

Di Amerika Serikat, beberapa studi menunjukkan bahwa negara tersebut menjadi negara yang paling tinggi mengalami kasus alergi gluten. Individu yang mengalami celiac mencapai tiga juta orang atau sekitar satu persen dari populasi total.

Bahkan, penelitian tahun 2017 menunjukkan bahwa masyarakat Amerika yang sudah menerapkan diet bebas gluten karena sensitif terhadap protein ini mencapai 33 persen.

Sementara, di Indonesia sendiri hingga saat ini belum penelitian terhadap orang yang mengalami celiac (alergi gluten).

Baca juga: BPPT Hadirkan Beras Sagu yang Aman bagi Penderita Diabetes

Resistant starch (pati resistan)

Pati resistan ialah bagian pati yang tidak bisa dicerna saluran pencernaan manusia.

"Pati sagu itu, patinya besar-besar kalau dilihat di bawah mikroskop, sehingga dia tidak mudah dicerna. Nah, pati yang tidak mudah dicerna itu akan masuk ke saluran pencernaan, melalui usus besar," ujar Endang.

"Lalu, di usus besar itulah akan menjadi sumber makanan bagi bakteri-bakteri baik, dan sangat spesifik pati sagu itu akan menjadi produksi asam lemak rantai pendek," imbuhnya.

Beberapa asam lemak rantai pendek itu seperti short-chain fatty acid (SCFA), hidrogen, metana, karbon dioksida, dan sejumlah energi (0-3 kalori per gram), dikutip dari buku Sagu Papua untuk Dunia.

Asam lemak rantai pendek hasil fermentasi mikroba (bakteri) tersebut cepat diserap ke hati dan bisa menghambat sintesis kolesterol di dalamnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau