KOMPAS.com - Sagu pernah sumber pangan utama bagi masyarakat Nusantara sebelum beras (padi) masuk ke Indonesia. Namun kini, di mata masyarakat, sagu hanya diingat sebagai bahan makanan khas Papua.
Wartawan senior Ahmad Arif mengatakan bahwa seharusnya masyarakat Indonesia harus mengingat dan mengenal kembali makanan utama nenek moyang tersebut.
"Kami ingin mengenalkan kembali sumber pangan yang kental dengan historis Indonesia di seluruh nusantara, dan merupakan makanan awal nenek moyang kita terdahulu," kata Arif dalam acara peluncuran Buku Sagu Papua untuk Dunia di Jakarta, Senin (25/11/2019).
Baca juga: BPPT Hadirkan Beras Sagu yang Aman bagi Penderita Diabetes
Sagu yang termasuk dalam genus Metroxylon ini merupakan salah satu keragaman hayati sebagai salah satu berkah terbesar negeri ini. Namun, menurut Arif, masyarakat saat ini banyak yang tidak mengetahui tentang alamnya sendiri.
Dituturkan Arif, sagu sebenarnya berasal dari bahasa Jawa yang berarti pati yang terdapat dalam empulur atau batang tumbuhan. Meski di beberapa daerah, sagu memiliki penyebutan yang berbeda-beda.
Dalam bahasa Indonesia disebut pohon rumbia atau (pohon) sagu); kirai (bahasa Sunda, Jawa Barat); ambulung atau kersulu (bahasa Jawa); dan lapia (bahasa Ambon dan Seram, Maluku).
Tumbuhan sagu tidak hanya tumbuh di Papua dan Maluku, tetapi juga menyebar dari timur di Pasifik Selatan ke barat hingga India.
Sebagai tumbuhan endemik Asia Tenggara, sagu bisa ditemukan di Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, dan Thailand.
Habitat tumbuhnya yaitu di sepanjang tepi sungai, di sekitar danau atau rawa, serta di daratan rendah hingga ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut.
Sementara di Indonesia, selain Papua dan Maluku, beberapa daerah lainnya juga ditanami sagu. Antara lain Sulawesi (Selatan, Tengah, Tenggara); Kalimantan (Barat dan Utara); Sumatera (Raiu, Kepulauan Mentawai); dan Jawa (Banten dan Jepara, Jawa Tengah).
Namun di daerah dengan curah hujan lebih sedikit, seperti Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, pohon sagu sulit ditemukan.
"Nah, sagu ini bisa menjadi pangan fungsional yang baik sebenarnya. Selain bisa kembali mengingat sejarah, merawat kultural, mengkonsumsi sagu kita seperti kembali ke ibu kita, sama kayak yang dirasakan orang Papua, sagu adalah ibu bagi mereka," ujar dia.
Baca juga: 4 Camilan Karbohidrat Antigemuk
Selain itu, Arif juga menuturkan bahwa Indonesia telah mengganti pati lokal dengan pati impor selama 30 tahun.
"Soalnya pernah ada kasus, seseorang didiagnosis kanker, tapi sudah melakukan berbagai terapi tidak sembuh-sembuh. Ketika dia berobat ke Singapura, baru ketahuan kalau dia sebenarnya alergi gluten," tuturnya.
Padahal, jika daya konsumsi diganti dengan sagu, bahkan resikonya tidak ada. Sebab sagu merupakan pati murni yang bebas dari gluten, protein, juga lemak.
Arif menjelaskan Papua memiliki cadangan sagu alam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Laporan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) pada 2014 menyebutkan, luas sagu di Papua mencapai 4.749.424 hektar dan Papua Barat mencapai 510.213 hektare.
Apabila dikombinasikan dengan data dari Flach (1977), total luas sagu di Indonesia dapat mencapai 5.519.637 hektare.
"Dengan mengembangkan industri sagu, Papua tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Tetapi sagu Papua bisa berkontribusi unuk menjawab kebutuhan pangan dunia. Sagu seharusnya bisa mengatasi kebutuhan pangan di Papua, bahkan di seluruh Indonesia. Kuncinya adalah kembali pada konsep keragaman pangan," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.