KOMPAS.com - Barangkali anda punya pengalaman begini soal menyantap makanan baru. Merasakan aneh saat mengecap pertama kali, tetapi lama-lama bisa menerima dan merasakan nikmatnya.
Misalnya saja anak kecil yang langsung menggeleng ketika melihat ada sayur di meja makan atau saat kita pertama kali mengecap rasa jengkol, bir, dan daun pepaya.
Dalam bahasa Inggris, orang mengenalnya sebagai "acquired taste", yakni selera yang didapat seiring pengalaman.
Namun, apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh sehingga mulut dan otak dapat menikmati makanan yang sebelumnya ingin kita muntahkan?
Baca juga: Segera... Deteksi Kanker Cukup Pakai Air Liur
Sekelompok ahli dari Amerika Serikat mengklaim mereka berhasil memecahkan teka-teki itu.
Dalam presentasi yang dilakukan di acara tahunan American Chemical Society di Boston pada Senin (20/8/2018), mereka yakin temuannya dapat dijadikan kunci untuk membuat makanan sehat terasa lebih enak untuk semua orang, termasuk anak-anak yang membenci sayuran.
"Dengan mengubah pola makan, Anda mungkin dapat mengubah pengalaman rasa makanan. Makanan yang tadinya terasa tidak enak, berubah jadi nikmat," ujar ilmuwan makanan Cordelia A. Running dari Universitas Purdue, dilansir Science Alert, Sabtu (25/8/2018).
Selama ini mungkin yang kita tahu kelenjar saliva atau kelenjar air liur hanya berperan untuk menelan makanan. Hal tersebut tidak salah, namun kelenjar air liur juga punya tugas lain.
Para ahli menyebut, kelenjar air liur mengandung sekitar 99,5 persen air dan sisanya merupakan senyawa penting yang berguna untuk memecah makanan, melindungi gigi, dan juga mencicipi makanan. Peran terakhir adalah kunci untuk isu yang kita bahas ini.
Protein yang dilepaskan kelenjar air liur dapat "membumbui" senyawa dalam makanan dan membantu mengecap sel reseptor di mulut. Oleh Running dan timnya, kelenjar air liur dijuluki sebagai media kimia yang ada di dalam mulut.
Masalahnya, protein-protein tersebut tidak statis. Dalam penelitian sebelumnya pada tikus, ahli lain melihat saat hewan diberi makanan pahit maka ekspresi protein dalam air liur tikus akan berubah.
Saat protein berubah, perilaku tikus juga ikut berubah dengan dapat mengonsumsi lebih banyak makanan pahit. Perubahan perilaku ini bukan hanya adaptasi psikologi, tetapi juga biokimia.
Menindaklanjuti penelitian sebelumnya, Running ingin mengetahui apakah hal yang sama juga terjadi pada manusia.
"Bila kita dapat mengubah ekspresi protein kelenjar air liur, mungkin kita dapat mengubah rasa yang dianggap buruk seperti pahit melemah," katanya.
Untuk memecahkan hal tersebut, Running dan timnya melakukan tes evaluasi sensorik pada 64 relawan. Seluruh relawan diminta untuk meminum susu almond cokelat yang rasanya pahit, tiga kali sehari dalam seminggu.