Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seterang Matahari, Ini Identitas Asteroid Mini yang Jatuh di Afrika

Kompas.com - 06/06/2018, 17:30 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis


KOMPAS.com - Sabtu malam (2/6/2018) ada asteroid mini yang jatuh di Botswana, Afrika Selatan.

Asteroid berdiameter satu sampai dua meter ini sebelumnya dinamai sementara ZLAF9B2, kemudian diganti oleh International Astronomical Union (IA) menjadi asteroid 2008 LA.

Catalina Sky Survey yang ada di observatorium Gunung Lemmon, Arizona, AS, adalah yang pertama mengidentifikasi kemunculan asteroid ini pada pukul 15.22 WIB atau tujuh jam sebelum asteroid memasuki atmosfer bumi. Saat itu jarak asteroid 36.000 kilometer di atas bumi.

Berbekal 12 data hasil pengamatan yang diperoleh selama 3,5 jam dari berbagai penjuru dunia, kini para astronom berhasil menguak sifat asteroid 2018 LA.

Baca juga: Salah Prediksi, Asteroid Ini Hanya Lewat Indonesia dan Jatuh di Afrika

Asteroid 2018 LA pertama kali ditangkap teleskop reflektor 1,5 meter yang dilengkapi kamera CCD 10K oleh Catalina Sky Survey. Asteroid nampak sebagai garis dalam lingkaran berwarna ungu. Titik-titik putih adalah bintang-bintang latar belakang. Asteroid 2018 LA pertama kali ditangkap teleskop reflektor 1,5 meter yang dilengkapi kamera CCD 10K oleh Catalina Sky Survey. Asteroid nampak sebagai garis dalam lingkaran berwarna ungu. Titik-titik putih adalah bintang-bintang latar belakang.

Dalam tulisan blog astronom amatir Marufin Sudibyo, asteroid 2018 LA adalah bagian dari asteroid kelas Apollo, yakni kelompok asteroid dekat Bumi yang melayang di antara orbit Venus dan Mars.

"Asteroid 2018 LA mengelilingi Matahari dengan periode 1,61 tahun dan kemiringan orbit (inklinasi) hanya 4 derajat," tulis Marufin.

Dengan cahaya 64 kali lebih redup dari Pluto, asteroid 2018 LA dapat bergerak dengan sangat cepat. Tak heran jika sejak awal pengamatan para ahli yakin asteroid ini akan jatuh ke bumi.

Awalnya para astronom memprediksi asteroid ini akan jatuh di Indonesia.

Ternyata ia hanya melintasi Indonesia bagian timur yakni kawasan Papua dan pulau Sumba pada pukul 22.00 sampai 22.30 WIB dan terus melaju menyusuri selatan pulau Jawa hingga jatuh di Afrika.

"Saat melewati selatan pulau Jawa, asteroid ini memiliki magnitudo sekitar +11 hingga +12. Teleskop yang kami arahkan ke asteroid tersebut tidak dapat mendeteksi dengan jelas karena terangnya cahaya bulan dan polusi cahaya lampu di Yogyakarta malam itu," imbuhnya.

Peta ini tunjukkan pergerakan asteorid ZLAF9B2 sebelum jatuh di Botswana, Afrika, Sabtu (2/6/2018) malam. Peta ini tunjukkan pergerakan asteorid ZLAF9B2 sebelum jatuh di Botswana, Afrika, Sabtu (2/6/2018) malam.

Kurang dari 1,5 jam setelah menembus langit Indonesia, Dhiraj S yang tinggal di Gaborone, Botswana, melaporkan adanya penampakan superfireball atau meteroit super terang ke American Meteor Society (AMS).

Gambar yang dipotretnya pada pukul 23.44 WIB menunjukkan garis terang khas meteor sepanjang sekitar 10 derajat.

Menurut Dhiraj, tak lama setelah ia memotret kejadian tersebut, meteor berkembang menjadi superfireball berwarna kuning. Ini artinya superfireball tersebut mengandung banyak natrium.

Laporan lain datang dari Barend Swanepoel, pemilik peternakan di Ottosdal, Afrika Selatan yang menunjukkan rekaman peristiwa jatuhnya asteroid lewat kamera CCTV-nya.

Rekaman tersebut memperlihatkan penampakan benda langit yang bergerak melintas langit dengan cahaya sangat terang pada 23:49 WIB. Pada puncaknya ia semikian benderang, setara atau melebihi terangnya Matahari saat hampir mendekati horizon.


Dampak

Upaya mendeteksi peristiwa jatuhnya benda langit ke Bumi tak hanya mengandalkan ketampakan visual.

Memanfaatkan sinyal-sinyal gelombang tak kasat mata dan tak terdengar manusia juga bisa menjadi upaya.

Hal ini seperti yang dilakukan the Comprehensive nuclear Test Ban Treaty Organization (CTBTO), institusi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas mengawasi uji coba nuklir di antariksa, atmosfer, bumi dan bawah laut.

Selain tugasnya mengawasi uji coba nuklir, alat ini juga mampu mendeteksi aneka peristiwa yang mirip pelepasan energi ledakan nuklir, seperti jatuhnya asteroid ke bumi.

Untuk melakukan hal itu, CTBTO menggunakan dua radas atau instrumen andalan, yakni radas mikrobarometer untuk menangkap sinyal gelombang infrasonik dan radas seismometer untuk merekam sinyal seismik.

Rekaman data CTBTO dari stasiun IS47 menunjukkan sinyal infrasonik saat asteroid 2018 LA masuk ke bumi cukup kuat.

Astronom spesialis meteor Peter Brown menganalisis, usikan gelombang infrasonik tersebut setara dengan pelepasan energi 0,3 hingga 0,5 kiloton TNT.

Dari orbitnya, asteroid ini memiliki kecepatan bebas (vinf) 15,8 kilometer/detik (56.900 kilometer/jam). Saat masuk ke atmosfer Bumi kecepatannya menjadi 19,4 kilometer/detik (69.700 kilometer/jam).

Dengan rentang energi kinetik antara 0,3 hingga 0,5 kiloton TNT, maka diameter asteroid 2018 LA adalah antara 1,7 hingga 2 meter. Sementara massanya antara 9,5 hingga 15,5 ton.

Diameter dan massa ini diperoleh dengan asumsi asteroid 2018 LA memiliki komposisi yang sama dengan meteorit kondritik (massa jenis 3,7 gram/cm3).

Analisis lebih lanjut menunjukkan sebelum memasuki atmosfer Bumi asteroid memiliki energi potensial antara 0,4 hingga 0,7 kiloton TNT.

Dengan energi hanya 0,3 sampai dengan 0,5 kiloton TNT, jatuhnya asteroid 2018 LA tidak menimbulkan dampak fisik yang nyata di bumi. Ini karena gelombang kejut dan sinar panas yang diproduksi masih cukup lemah untuk bisa menimbulkan kerusakan.

Baca juga: Peneliti: Burung Terbang Pernah Punah Saat Asteroid Hantam Bumi

Asteroid ketiga yang terdeteksi sebelum jatuh ke bumi

Asteroid 2018 LA adalah asteroid ketiga yang berhasil ditemukan sebelum jatuh ke Bumi dalam sejarah astronomi kiwari.

Dua asteroid sebelumnya masing-masing adalah asteroid 2008 TC3 dan asteroid 2014 AA.

Asteroid 2008 TC3 (diameter 4 meter, massa 83 ton) ditemukan pada 6 Oktober 2008 TU atau 20 jam sebelum jatuh. Kemudian ada asteroid 2014 AA (diameter 3 meter, massa 38 ton) ditemukan pada 1 Januari 2014 TU dalam 23 jam sebelum jatuh.

Kesuksesan pendeteksian ketiga asteroid ini menunjukkan kemajuan astronomi dalam mengidentifikasi ancaman tumbukan benda langit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com