Berhak Meragukan
Cerita tentang efek plasebo tak hanya yang seajaib tongkat Perkins. Berbagai terapi yang merupakan tindakan medis pun bisa jadi hanya plasebo.
"Euforia dunia atas keberhasilan tindakan renal denervation, yaitu intervensi pembuluh darah ginjal dalam mengatasi hipertensi membandel segera surut saat Dr Deepak L Bhatt dan kawan-kawan memublikasikan studi Symplicity HTN-3," tulis Fauzi.
"Studi yang dimuat di The New England Journal of Medicine pada 2014 itu membuktikan (bahwa) penurunan tekanan darah pada kelompok pasien yang mendapat terapi invasif tidak berbeda dengan kelompok pasien dengan prosedur plasebo (sham control)," sambungnya.
Penelitian tersebut menjadi bukti bahwa terapi sebelumnya tidak benar-benar memberikan efek kesembuhan. Bahkan, dari temuan ini, terapi renal denervation tak lagi direkomendasikan hingga ada bukti berikutnya.
Hal serupa juga terjadi dalam kedokteran jantung. Fauzi menjelaskan bahwa belum lama ini sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal The Lancet membuktikan adanya efek plasebo pemasangan stent pada penderita penyakit jantung koroner stabil.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dr Rasha Al-Lamee dan koleganya, tidak didapati perbedaan hasil dalam kurun enam minggu pada mereka yang menjalani pemasangan stent jantung dan yang menjalani pemasangan stent pura-pura (sham control).
"Studi Al-Lamee dan kawan-kawan memang belum menisbikan studi-studi besar peran intervensi koroner," tulisnya.
Baca juga: Terapi Cuci Otak Tak Bisa Cegah dan Obati Stroke
"Namun, tak urung studi ini menegaskan profesi medis selalu berhak meragukan manfaat terapi walaupun terapi tersebut sudah berjalan empat dekade pada jutaan pasien," tegasnya.
Menelaah "Cuci Otak"
Berkaca pada banyak kasus dunia tentang efek plasebo tersebut, Fauzi menyebut perlunya uji klinis yang tepat pada kasus Terawan.
"Terkait untuk menguji apakah efek terapi dokter Terawan itu plasebo atau bukan, diperlukan suatu desain uji klinis yang tepat untuk menjawab segala keraguan," ungkapnya.
"Dokter Terawan akan jadi ikon kebanggaan bangsa jika terapi ini memang benar-benar berperan dalam mengatasi bahkan mencegah stroke yang menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia," imbuhnya.
Untuk itu, menurut Fauzi, perlu ada peran serta dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Tim Health Technology Asessment (HTA) Kementerian Kesehatan berperan menilai terapi metode cuci otak ini," tulisnya.
"Jika Kemenkes memandang terapi ini bermanfaat, tentu peserta BPJS berpotensi menikmati terapi ini, bukan sekadar mereka yang punya uang," tegasnya.
Fauzi juga menilai hebohnya terapi cuci otak ini merupakan kesempatan yang baik untuk membuktikan manfaat terapi ini.
"Keriuhan terapi cuci otak ini merupakan kesempatan baik bagi kalangan medis dari berbagai institusi untuk membuktikan tanggung jawab dan profesionalisme dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat," tulisnya.
Baca juga: Antara Rompi Kanker Warsito dan Cuci Otak Terawan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.