KOMPAS.com - Beberapa hari belakangan, pemberitaan publik dipenuhi dengan kontroversi terapi cuci otak ala dokter Terawan Agus Putranto. Kasus ini menjadi perhatian setelah kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto itu diberi sanksi oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Sanksi yang diberikan berupa pemecatan sementara selama satu tahun yang disertai dengan pencabutan izin praktik Terawan.
Hal ini memicu perdebatan di kalangan publik. Apalagi, setelah banyak orang mengaku sembuh dengan terapi cuci otak ini.
Tak tinggal diam, IDI kemudian menunda amar keputusan tersebut. Meski begitu, kontroversi tentang terapi ala Terawan tak kunjung reda.
Baca juga: Kemenkes Belum Terima Surat Resmi dari IDI untuk Uji Terapi Terawan
Salah satu yang menjadi perdebatan adalah terapi cuci otak ini hanya dianggap bersifat plasebo. Namun, apa sebenarnya plasebo itu?
Mengenal Plasebo
Dirangkum dari opini A Fauzi Yahya, seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah pada Harian Kompas, Rabu (11/04/2018), plasebo didefinisikan sebagai terapi obat-obatan dan prosedur medis tanpa memiliki kandungan terapi. Meski tak punya kandungan terapi, plasebo beperan untuk menghilangkan atau meredakan keluhan pasien.
"Termasuk dalam plasebo adalah bentuk komunikasi, situasi lingkungan, sentuhan tangan, dan sikap-sikap lain yang menyentuh emosi pasien," tulis Fauzi.
Efek plasebo ini biasanya bersifat subyektif pada setiap pasien. Meski berbeda-beda bagi tiap pasien; plasebo bisa meringankan kecemasan, depresi, hingga keluhan sakit pasien.
Plasebo, baik obat maupun tindakan medis, tidak mengubah perjalanan penyakit ataupun menurunkan kematian akibat penyakit tersebut.
"Jadi, jika kita kembali ke terapi cuci otak untuk mengatasi pembuluh yang tersumbat, baik di otak maupun jantung, tindakan yang bersifat plasebo tidak efektif memperbaiki aliran darah, tetapi berpotensi meringankan keluhan yang ada," tulis Fauzi.
Fauzi juga mengambil contoh yakni penderita kanker. Menurut dia, plasebo berperan mengurangi efek samping kemoterapi, tetapi tidak menghambat pertumbuhan tumor.
"Plasebo meringankan secara dramatis sesak asma, tetapi tidak memengaruhi tes faal paru," jelas Fauzi.
Lalu apa sebenarnya efek plasebo ini?
Fauzi menjelaskan, riset klinis terbaru membuktikan bahwa efek plasebo sebenarnya merupakan biopsikososial. Dia juga menyebut bahwa studi genetik masa kini telah mulai mampu mengidentifikasi pasien yang sangat responsif terhadap plasebo.
Baca juga: Terapi Cuci Otak Dokter Terawan Bisa Obati Stroke? Ini Kata Ahli
"Efek plasebo berkaitan dengan mekanisme kompleks neurobiologis yang melibatkan neurotransmiter (endorfin, cannabinoids, dan dopamin)," tulisnya.
"Plasebo dapat menstimulasi respons psikologis, mulai dari laju jantung, tekanan darah, hingga aktivitas berbagai area otak," imbuhnya.
Berabad Lalu
Efek plasebo bukan baru-baru ini saja dikenal. Bahkan, hal ini telah diketahui sejak berabad-abad lampau.
"Kisah paling terkenal adalah tentang tongkat ajaib dokter Elisha Perkins yang muncul pada akhir abad ke-18," ungkap Fauzi.
"Dokter Perkins mampu membuat orang sakit yang terbaring lama kembali berdiri dan berjalan," sambungnya.
Sebelumnya, tak pernah ada dokter dengan kemampuan serupa di Connecticut, AS. Hanya dengan menyentuhkan tongkat bajanya saja, Perkins seolah-olah bisa menghilangkan penyakit seseorang.
Kehebatan Perkins segera menyebar dari Amerika hingga Eropa Barat. Bisa dibayangkan, banyak orang berduyun-duyun mendatanginya untuk kesembuhan.
"Tidak kurang 5.000 orang tersembuhkan dan proses penyembuhan itu tersertifikasi oleh 8 profesor, 40 dokter, dan 30 pendeta, termasuk presiden AS kala itu," tulis Fauzi.
"Namun, asosiasi kedokteran Connecticut memecat Perkins dari keanggotaan karena menganggap terapinya sebagai bualan," tambahnya.
Untuk membuktikan apakah yang terjadi pada pasien-pasien Perkins hanya efek plasebo, seorang dokter di Inggris melakukan hal yang sama.
Baca juga: Amankah Menjalani Terapi Cuci Otak?
Adalah John Haygarth yang melakukan itu. Dia mengganti tongkat baja ala Perkins dengan tongkat kayu yang mirip logam.
Hasilnya, efek serupa dengan yang terjadi pada pasien Perkins terjadi.
Dengan begitu, Haygarth membuktikan bahwa tongkat milik Perkins tak lebih dari plasebo.
"Dia kemudian menulis buku berjudul Imagination as a cause and as a Cure of Disorder of the Body," kisah Fauzi.
Berhak Meragukan
Cerita tentang efek plasebo tak hanya yang seajaib tongkat Perkins. Berbagai terapi yang merupakan tindakan medis pun bisa jadi hanya plasebo.
"Euforia dunia atas keberhasilan tindakan renal denervation, yaitu intervensi pembuluh darah ginjal dalam mengatasi hipertensi membandel segera surut saat Dr Deepak L Bhatt dan kawan-kawan memublikasikan studi Symplicity HTN-3," tulis Fauzi.
"Studi yang dimuat di The New England Journal of Medicine pada 2014 itu membuktikan (bahwa) penurunan tekanan darah pada kelompok pasien yang mendapat terapi invasif tidak berbeda dengan kelompok pasien dengan prosedur plasebo (sham control)," sambungnya.
Penelitian tersebut menjadi bukti bahwa terapi sebelumnya tidak benar-benar memberikan efek kesembuhan. Bahkan, dari temuan ini, terapi renal denervation tak lagi direkomendasikan hingga ada bukti berikutnya.
Hal serupa juga terjadi dalam kedokteran jantung. Fauzi menjelaskan bahwa belum lama ini sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal The Lancet membuktikan adanya efek plasebo pemasangan stent pada penderita penyakit jantung koroner stabil.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dr Rasha Al-Lamee dan koleganya, tidak didapati perbedaan hasil dalam kurun enam minggu pada mereka yang menjalani pemasangan stent jantung dan yang menjalani pemasangan stent pura-pura (sham control).
"Studi Al-Lamee dan kawan-kawan memang belum menisbikan studi-studi besar peran intervensi koroner," tulisnya.
Baca juga: Terapi Cuci Otak Tak Bisa Cegah dan Obati Stroke
"Namun, tak urung studi ini menegaskan profesi medis selalu berhak meragukan manfaat terapi walaupun terapi tersebut sudah berjalan empat dekade pada jutaan pasien," tegasnya.
Menelaah "Cuci Otak"
Berkaca pada banyak kasus dunia tentang efek plasebo tersebut, Fauzi menyebut perlunya uji klinis yang tepat pada kasus Terawan.
"Terkait untuk menguji apakah efek terapi dokter Terawan itu plasebo atau bukan, diperlukan suatu desain uji klinis yang tepat untuk menjawab segala keraguan," ungkapnya.
"Dokter Terawan akan jadi ikon kebanggaan bangsa jika terapi ini memang benar-benar berperan dalam mengatasi bahkan mencegah stroke yang menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia," imbuhnya.
Untuk itu, menurut Fauzi, perlu ada peran serta dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Tim Health Technology Asessment (HTA) Kementerian Kesehatan berperan menilai terapi metode cuci otak ini," tulisnya.
"Jika Kemenkes memandang terapi ini bermanfaat, tentu peserta BPJS berpotensi menikmati terapi ini, bukan sekadar mereka yang punya uang," tegasnya.
Fauzi juga menilai hebohnya terapi cuci otak ini merupakan kesempatan yang baik untuk membuktikan manfaat terapi ini.
"Keriuhan terapi cuci otak ini merupakan kesempatan baik bagi kalangan medis dari berbagai institusi untuk membuktikan tanggung jawab dan profesionalisme dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat," tulisnya.
Baca juga: Antara Rompi Kanker Warsito dan Cuci Otak Terawan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.