Penemuan yang sudah dipublikasikan di International Journal of Mental Health and Addiction menemukan ada tiga tingkatan selfitis.
Tingkatan borderline (wajar) adalah orang yang mengambil swafoto sebanyak tiga kali sehari tapi tidak mengunggah foto tersebut ke media sosial.
Kemudian tingkat akut, di mana foto diunggah ke media sosial. Terakhir adalah tingkat kronis, di mana orang merasakan dorongan yang tak terkendali untuk berswafoto sepanjang waktu dan mengunggahnya ke media sosial lebih dari enam kali sehari.
Dari hasil tersebut, peneliti mengungkap bahwa penderita selfitis termasuk orang yang suka mencari perhatian, kurang percaya diri dan berharap dapat meningkatkan status sosial mereka, dan merasa akan menjadi bagian dari kelompok dengan cara memajang gambar dirinya sendiri.
"Biasanya mereka yang kurang memiliki rasa percaya diri, mereka akan berusaha menyesuaikan diri dengan orang sekitar. Hal ini menunjukkan gejala yang serupa dengan potensi perilaku adiktif lainnya," kata Dr Janarthanan Balakrishnan, rekan peneliti dari Departemen Psikologi, Nottingham Trent University.
"Kini kondisi tersebut sudah dikonfirmasi dan diharapkan adanya penelitian lebih lanjut untuk lebih memahami bagaimana dan mengapa orang berperilaku seperti ini dan apa yang bisa dilakukan untuk menolong mereka," sambungnya.
Pro Kontra Penelitian
Tidak hanya selfitis, gangguan mental yang diidentifikasi muncul karena pengaruh teknologi. Selain itu ada nomofobia, kondisi yang muncul saat seseorang merasa takut tidak berada di dekat ponsel.
Ada juga technoference, gangguan sehari-hari karena perangkat teknologi. Terakhir adalah gangguan cyberchondria, yakni merasa sakit setelah melakukan pencarian gejala penyakit secara online.
Meski begitu, penelitian yang sudah terbit di jurnal Internasional itu tetap menjadi perdebatan. Terutama untuk kasus selfitis.
Sir Simon Wessely, Guru Besar Psikologi Kedokteran dari King's College London melihat, kesimpulan dari penelitian ini adalah orang yang sering melakukan swafoto bertujuan untuk memperbaiki mood, menarik perhatian, meningkatkan kepercayaan diri, dan berhubungan dengan lingkungan.
"Jika itu benar, maka tulisan ini sendiri merupakan 'selfie' akademis," ujar Wessely.
Hal yang sama juga diutarakan Dr Mark Salter, juru bicara The Royal College of Psychiatrists. Dia yakin bahwa gangguan selfitis tidak pernah ada.
"Ada kecenderungan untuk mencoba dan memberi label berbagai macam perilaku manusia yang rumit dan kompleks dengan satu kata saja, tapi itu berbahaya karena bisa memberi sesuatu kenyataan yang sebenarnya tidak ada," tegas Salter.
Baca Juga : Ingin Awet Muda Fisik dan Mental? Menarilah...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.