KOMPAS.com - Tak disangkal sejak beberapa tahun terakhir, swafoto kerap dilakukan oleh sebagian besar orang. Bahkan, ada pula yang memiliki swafoto sampai ribuan di ponselnya sampai-sampai jejeran foto dalam media sosial yang dipajang hanya swafoto.
Beberapa orang yang melihat hal ini mungkin ada yang menganggap biasa saja, namun ada pula yang risih melihat hal tersebut.
Jika psikolog yang melihat hal seperti ini, mereka justru akan mengatakan bahwa orang seperti itu adalah orang yang sangat membutuhkan pertolongan.
Para psikolog menyebutnya sebagai selfitis. Sebuah kondisi gangguan mental yang membuat seseorang harus terus memotret dirinya dan memasukkan ke media sosial.
Baca Juga : Menjadi Pengangguran di Usia Senja Dampak dari Kesehatan Mental
Istilah itu pertama kali diciptakan pada 2014, untuk menggambarkan obsesi melakukan swafoto.
Saat itu, American Psychiatric Association menyarankan untuk mengklasifikasikan masalah ini sebagai sebuah gangguan. Tapi kemudian hal ini dikabarkan hanya hoax dan digugurkan.
Terkait hal tersebut, peneliti dari Nottingham Trent University dan Thiagarajar School of Management di India memutuskan untuk menyelidiki kebenarannya.
Hasilnya, mereka membenarkan bahwa selfitis memang ada dan bahkan sudah membuat skala perilaku selfitis agar bisa mengukur tingkat keparahannya.
"Beberapa tahun yang lalu, kondisi selfitis akan digolongkan sebagai gangguan mental oleh American Psychiatric Association. Hal tersebut kemudian disebut hoax. Tetapi kami mengkonfirmasi selfitis memang ada dan kami mengembangkan penelitian dengan membuat skala perilaku selfitis untuk mengukur kondisi seseorang," kata Dr Mark Griffiths, Profesor ketergantungan perilaku dari departemen Psikologi, Nottingham Trent University, dilansir dari Telegraph, Jumat (15/12/2017).
Peneliti membuat skala 1-100 yang dikembangkan lewat grup fokus berisi 200 peserta, lalu diujikan lewat survei dengan 400 peserta.
Tim mengembangkan 20 pernyataan yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat keparahan selfitis dengan mengukur seberapa sering seseorang memberi tanda setuju terhadap kepekaan perasaannya.
Misalnya seperti pernyataan, "saya merasa lebih populer saat saya mengunggah diri saya di media sosial", atau pernyataan, "ketika saya tidak melakukan swafoto, saya merasa terlepas dari kelompok pergaulan saya".
Baca Juga : Sains Ungkap Dampak Kurang Tidur pada Otak dan Mental
Para partisipan berasal dari India karena pengguna Facebook terbanyak ada di negara ini. Selain itu, India juga disebut memiliki jumlah kematian terbanyak karena melakukan swafoto di lokasi berbahaya.