KOMPAS.com - Kedekatan Elisa Panjang dengan trenggiling dimulai saat ia masih berusia 10 tahun. Saat itu, ia tinggal di sebuah desa yang dikelilingi hutan di ujung utara pulau Kalimantan.
Ketika ia bermain di luar rumah, Elisa melihat seekor binatang coklat bersisik yang bergerak perlahan di sepanjang tepi hutan. Ia dapat mengenali musang liar dan babi hutan, namun hewan satu ini baru baginya.
Saat ia bercerita pada ibunya, barulah ia tahu bahwa hewan itu adalah trenggiling, hewan pemakan semut yang memiliki sisik keras.
Sejak saat itu, Elisa menjadi tertarik dengan trenggiling. "Saya seperti jatuh cinta pada trenggiling. Itu adalah pertemuan bagi saya dan (trenggiling) menjadi hewan favorit saya," kenang Elisa yang kini sudah menjadi ahli trenggiling Sunda (Manis javanica) dan bekerja di Pusat Konservasi Danau Girang di Sabah, Malaysia.
Baca juga: Lawan Pemburu Trenggiling, Ahli Kembangkan Alat Forensik Sederhana
Sayang, populasi hewan yang sudah dipelajarinya sejak di bangku kuliah hingga menempuh program doktoral di Cardiff University semakin berkurang di alam liar.
Delapan spesies trenggiling hidup di Afrika dan Asia, terancam punah. Salah satu penyebabnya adalah penyelundupan ilegal.
Banyak trenggiling Sunda yang ditangkap dan diselundupkan ke Vietnam dan China. Daging dan sisiknya dihargai mahal untuk bahan pengobatan.
Sejak 2015, Elisa bersama konservasionis dan ahli satwa liar lainnya menuntut pemerintah Malaysia untuk memberi perlindungan hukum kuat untuk trenggiling Sunda.
Kegigihan mereka akhirnya terbayar pada Hari Pangolin Dunia 2018 (18 Februari), ketika pemerintah Malaysia meningkatkan status perlindungan trenggiling Sunda ke tingkat 1. Aturan ini secara otomatis membuat semua perburuan menjadi ilegal.
Antara 2010-2015, pihak berwajib di 67 negara menyita pengiriman sekitar 47.000 trenggiling utuh dan 120 ton trenggiling dan bagian lain.
Angka-angka itu dilaporkan dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada bulan Desember 2017 oleh TRAFFIC, sebuah LSM internasional yang memantau perdagangan satwa liar.
Studi itu juga menemukan bahwa penyelundup bergerak dengan sangat cepat, menggunakan lebih dari 150 rute berbeda dan ada 27 rute baru setiap tahun.
Pada November 2017, pihak berwenang China menyita 11,9 ton sisik trenggiling di pelabuhan di bagian selatan yang sibuk. Sisik-sisik itu berasal dari sekitar 20.000 trenggiling di Afrika.
Salah satu hal yang membuat trenggiling dengan mudah dapat ditangkap adalah hewan ini tidak bisa bergerak dengan cepat.
Baca juga: IUCN: Lemur Resmi Jadi Primata Paling Terancam Punah di Dunia
Tentang Trenggiling Sunda dan perburuan ilegal