KOMPAS.com – Pada satu hari di bulan Agustus 2018, Greta Thunberg berdiri di luar Gedung Parlemen Swedia. Ia membawa sebuah papan tulis bertuliskan tinta hitam, bertuliskan “School Strike for Climate”.
“Waktu itu saya merasa seperti seorang diri yang peduli terhadap iklim dan krisis ekologi,” tutur Greta kepada BBC seperti dikutip Kompas.com, Senin (24/2/2020).
Remaja berusia 15 tahun itu memang waktu itu seorang diri, namun kini tidak lagi. Satu tahun setelahnya, jutaan remaja di seluruh dunia ikut turun ke jalan dan melakukan aksi demonstrasi terkait perubahan iklim.
Greta Thunberg merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, semuanya perempuan. Ia lahir pada 3 Januari 2003. Greta tumbuh besar di Stockholm dengan ibundanya, Malena Ernman, seorang penyanyi opera dan ayahnya yang seorang actor, Svante Thunberg.
Ayahnya adalah keturunan Svante Arrhenius, seorang ilmuwan yang menciptakan model efek rumah kaca. Arrhenius dianugerahi Nobel Prize for Chemistry pada 1903.
Meski begitu, Greta mengatakan kepada BBC bahwa orangtuanya jauh dari isu perubahan iklim hingga akhirnya dirinya sendiri yang memperkenalkan isu tersebut.
Baca juga: Peduli Perubahan Iklim, Ini Isu dan Agenda Tingkat Dunia yang Perlu Diketahui
Greta memaksa kedua orangtuanya untuk menjadi vegetarian. Pada 2016, ia meyakinkan ibunya untuk berhenti menggunakan pesawat terbang karena ibunya kerap bekerja di negara lain.
Greta sendiri mengidap Asperger’s Syndrome, sebuah sindrom perkembangan individu yang berpengaruh terhadap sulitnya interaksi sosial dan komunikasi non-verbal. Namun ia menganggap penyakit tersebut sebagai sebuah “hadiah” dan “kekuatan super”.
Greta pertama kali belajar tentang perubahan iklim pada usia 8 tahun. Pertanyaannya hanya satu waktu itu: mengapa orang-orang tidak melakukan sebuah aksi?
“Saya ingat saya berpikir bahwa ini sangat aneh. Kita bisa mengubah seluruh wajah Bumi dan atmosfer yang menjadi rumah kita. Oleh karena kita bisa melakukan ini, kenapa tidak ada yang peduli?” tuturnya kepada Guardian.
Pada Mei 2018, Greta memenangkan kompetisi esay tentang perubahan iklim di koran lokal. Tiga bulan kemudian, ia mulai melakukan demonstrasi di depan Gedung Parlemen Swedia.
Ia mengancam untuk tidak berhenti sampai pemerintah Swedia mengeluarkan keputusan mengenai target pengurangan emisi karbon, sesuai dengan Paris Agreement tahun 2015.
Aksi demonstrasi yang dilakukan Greta di depan Gedung Parlemen Swedia viral di media sosial.
Beberapa aksi serupa pun dilakukan oleh remaja-remaja di berbagai belahan dunia, dengan pesan dalam tagar #FridaysForFuture.
Pada Desember 2018, lebih dari 20.000 siswa di berbagai belahan dunia mengikuti jejak Greta. Termasuk siswa di Australia, Inggris Raya, Belgia, AS, dan Jepang.