Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang gemar melihat bintang dan menekuri Bumi.

Asteroid yang Jatuh di Gunung Berapi Asia Tenggara

Kompas.com - 28/01/2020, 19:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tumbukan Bolaven menyebabkan gangguan sangat serius di lingkup regional Asia Tenggara dan dapat merembet ke tataran global. Injeksi debu produk tumbukan dan jelaga produk kebakaran hutan ke atmosfer, terutama yang mencapai lapisan stratosfer, membentuk tabir surya alamiah.

Tabir surya menghalangi pancaran sinar Matahari ke paras Bumi. Selain membuat pencahayaan lebih redup, suhu udara rata–rata diperhitungkan anjlok hingga 8º Celcius di bawah normal.

Seperti yang terjadi pasca peristiwa Letusan Tambora 1815, dalam kejadian seperti ini maka kawasan subtropis dan lingkar kutub mengalami penurunan suhu yang lebih besar ketimbang kawasan tropis. Gangguan pertumbuhan tanaman pun terjadi dengan segala efek terusannya.

Dampak jangka panjang terparah dialami Asia Tenggara. Terblokirnya sinar Matahari oleh tabir surya alamiah menjadikan pencahayaan siang hari bolong pun tetap gelap seperti berada di bawah naungan mendung paling tebal.

Sementara itu, reaksi oksida–oksida nitrogen produk tumbukan Bolaven dan pirotoksin dari kebakaran hutan dengan uap air di awan membentuk asam nitrat dan asam sulfat. Hujan asam pun terjadi kala tetes–tetes air turun Bumi. Oksida–oksida nitrogen juga bertanggung jawab atas bobolnya lapisan Ozon di atas Asia Tenggara.

Akumulasi dampak–dampak tersebut membuat pertumbuhan tanaman di Asia Tenggara sangat terganggu hingga berefek kepada kurangnya energi yang diterima populasi hewan dan (mungkin) manusia purba Homo erectus.

Beberapa daerah di Asia Tenggara mungkin mengalami dampak lebih parah yang berujung pada terjadinya pemusnahan massal berskala lokal. Daerah–daerah lainnya mungkin menerima dampak lebih ringan sehingga mampu bertahan dari kehancuran.

Asia Tenggara adalah terra inesplorata dalam kancah ilmu pengetahuan tumbukan benda langit.

Dari 190 kawah tumbukan yang telah terkonfirmasi statusnya pada saat ini, tak satupun yang berada di Asia Tenggara. Wilayah yang belum sepenuhnya terpetakan secara geologi seiring luasnya tutupan rimba belantara dan jaringan jalan raya yang belum bagus menjadi salah satu faktor utama penyebabnya.

Padahal dengan area demikian luas, setara separuh luas benua Eropa, tidak ada alasan bagi nihilnya kawah tumbukan benda langit di sini.

Beberapa kandidat memang telah diusulkan, misalnya situs arkeologi Bukit Bunuh (Malaysia), bagian taman bumi (geopark) global di Ciletuh (Indonesia) dan Mount Ashmore yang terkubur di dasar Laut Timor. Namun status kandidat–kandidat kawah itu belumlah final, terutama karena masih kekurangan jejak kunci seperti bukti metamorfosis tekanan tingkat tinggi pada kristal batuan setempat.

Di sisi lain, Asia Tenggara menarik perhatian besar dalam kurun seabad terakhir. Inilah kawasan yang setiap sudutnya ditebari oleh butir–butir batuan tak–biasa. Tektit namanya. Karena ditemukan secara meluas di sudut–sudut Asia tenggara dan Australia, maka tektit ini dinamakan tektit Australasia.

Tektit Australasia cukup familiar di Indonesia. Misalnya Batu Satam dari pulau Belitung, yang sesungguhnya bilitonit dan tergolong batu mulia. Juga Agni Mani di pulau Jawa, yang sesungguhnya adalah javanit. Orang Jawa Kuna menyebut Agni Mani sebagai mutiara api (dari surga), indikasi mereka mengetahui batu unik itu datang dari langit.

Demikian pula budaya Belitung, yang menempatkan Batu Satam sebagai batu meteorit karena jatuh dari langit pula, meski sesungguhnya terdapat perbedaan fundamental antara tektit dan meteorit.

Penghargaan atas tektit juga diperlihatkan penduduk asli Australia dan Filipina. Suku Aborigin menempatkan Ooga, yang sesungguhnya australit, sebagai ornamen suci, sementara suku Aeta menggunakan filipinit sebagai jimat dan perhiasan (gelang maupun kalung). Baik Batu Satam, Agni Mani, Ooga maupun filipinit merupakan bagian dari grup tektit Australasia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau