Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Asteroid yang Jatuh di Gunung Berapi Asia Tenggara

HARI–hari ini pandangan dunia terarah ke Asia bagian timur seiring kian mewabahnya coronavirus Wuhan. Per 26 Januari 2020, telah terdeteksi 2.035 kasus dengan 56 orang meninggal. Sebaliknya 53 orang berhasil sembuh.

Sekitar 790.000 tahun silam, pandangan mata manusia, tepatnya manusia purba Homo erectus dengan peradaban zaman batu tuanya, juga terarah ke sini. Lebih tepatnya ke kawasan yang berjarak 1.900 kilometer sebelah tenggara kota Wuhan. Tatkala sebuah peristiwa luarbiasa hebat yang memicu berubahnya iklim regional terjadi.

Saat itu sebuah benda langit mirip meteor–sangat–sangat–sangat terang mendadak muncul di atas daratan Semenanjung Indocina. Ia melaju ke arah selatan–tenggara dengan kecepatan 20 km/detik (72.000 km/jam) dan kian bertambah terang saat ketinggiannya kian merendah.

Pada puncaknya meteor–sangat–sangat–sangat terang itu sampai berjuta kali lipat lebih benderang ketimbang terik Matahari di siang bolong, yakni 3,6 juta hingga 8,4 juta kali lipat lebih terang. Maka segenap Semenanjung Indocina dibikin silau kala meteor sangat–sangat–sangat terang melintas.

Meteor–sangat–sangat–sangat terang itu adalah sebuah asteroid raksasa yang garis tengahnya 1,4 hingga 1,9 kilometer dengan massa 5,3 hingga 13,3 milyar ton. Ia melaju tak terhentikan setelah memasuki lapisan–lapisan udara Bumi, bergerak menuju jantung Semenanjung Indocina dalam jalur tumbukan yang menyudut 10º terhadap titik target.

Titik target adalah Dataran Tinggi Bolaven yang sedang menggelegak membara seiring luapan magma basaltik dalam episode demi episode vulkanisme titik–panas yang telah bermula sejak 16 juta tahun sebelumnya. Dengan kata lain asteroid raksasa itu akan menghantam sebuah gunung berapi tak–biasa yang sedang meletus.

Tumbukan pun terjadi dengan dahsyatnya yang melepaskan energi mencapai 274.000 hingga 685.000 megaton TNT, setara 18 juta hingga 34 juta butir bom nuklir Nagasaki yang diledakkan serempak di satu tempat. Tingkat energi tersebut menyamai yang dilepaskan Letusan Toba Muda Toba 75.000 tahun silam, letusan gunung berapi terdahsyat dalam kurun 26 juta tahun terakhir.

Tumbukan asteroid itu memproduksi kawah kompleks yang garis tengahnya 13 hingga 17 kilometer dan berkedalaman maksimum 690 hingga 750 meter, yang bisa disebut Kawah Bolaven. Maka peristiwa tumbukannya pun bisa dinamakan tumbukan Bolaven.

Karena asteroid datang dari altitud sangat rendah, bentuk Kawah Bolaven adalah lonjong dengan sumbu utama berarah utara–baratlaut ke selatan–tenggara. Dari kawah ini tersembur 140 hingga 287 km3 material produk tumbukan, dengan 81 hingga 182 km3 diantaranya merupakan breksi tumbukan.

Ukuran dan bobot breksi tumbukan terlalu berat sehingga tak sanggup terlontar jauh. Tetapi material yang lebih ringan terlontar secara balistik hingga demikian jauh, sampai ratusan atau bahkan ribuan kilometer di atas paras Bumi, sebelum gravitasi menariknya kembali berjatuhan.

Dampak tumbukan Bolaven dalam jangka pendek terbagi dua: dampak termal dan dampak mekanik.

Dampak termal merupakan kombinasi dua hal. Pertama, paparan sinar panas, yakni pancaran cahaya tampak, inframerah dan ultraungu berintensitas sangat tinggi yang dilepaskan bolaapi tumbukan tepat sesaat setelah asteroid menghantam targetnya. Dan yang kedua, paparan panas akibat material produk tumbukan yang masuk kembali (reentry) ke dalam atmosfer Bumi secara balistik.

Diperhitungkan dampak termal tumbukan Bolaven menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan secara spontan hingga radius 600 kilometer dari kawah.

Sementara dampak mekaniknya diperlihatkan oleh gelombang kejut, yakni penjalaran denyut tekanan berkecepatan supersonik yang disusul hempasan angin berkecepatan tinggi. Gelombang kejut produk tumbukan Bolaven dengan overpressure 1 psi (703 kg/m2) menerpa hingga radius 400 kilometer dari kawah. Overpressure 1 psi sanggup membuat batang–batang pohon besar tercerabut dari akarnya.

Jelas dalam jangka pendek tumbukan pembentuk Kawah Bolaven membuat Semenanjung Indocina porak–poranda, dengan rimba belantara terbakar hebat sementara pohon–pohon besar bertumbangan dimana–mana dalam arah tertentu. Namun, dampak jangka panjangnya lebih mencemaskan.

Tumbukan Bolaven menyebabkan gangguan sangat serius di lingkup regional Asia Tenggara dan dapat merembet ke tataran global. Injeksi debu produk tumbukan dan jelaga produk kebakaran hutan ke atmosfer, terutama yang mencapai lapisan stratosfer, membentuk tabir surya alamiah.

Tabir surya menghalangi pancaran sinar Matahari ke paras Bumi. Selain membuat pencahayaan lebih redup, suhu udara rata–rata diperhitungkan anjlok hingga 8º Celcius di bawah normal.

Seperti yang terjadi pasca peristiwa Letusan Tambora 1815, dalam kejadian seperti ini maka kawasan subtropis dan lingkar kutub mengalami penurunan suhu yang lebih besar ketimbang kawasan tropis. Gangguan pertumbuhan tanaman pun terjadi dengan segala efek terusannya.

Dampak jangka panjang terparah dialami Asia Tenggara. Terblokirnya sinar Matahari oleh tabir surya alamiah menjadikan pencahayaan siang hari bolong pun tetap gelap seperti berada di bawah naungan mendung paling tebal.

Sementara itu, reaksi oksida–oksida nitrogen produk tumbukan Bolaven dan pirotoksin dari kebakaran hutan dengan uap air di awan membentuk asam nitrat dan asam sulfat. Hujan asam pun terjadi kala tetes–tetes air turun Bumi. Oksida–oksida nitrogen juga bertanggung jawab atas bobolnya lapisan Ozon di atas Asia Tenggara.

Akumulasi dampak–dampak tersebut membuat pertumbuhan tanaman di Asia Tenggara sangat terganggu hingga berefek kepada kurangnya energi yang diterima populasi hewan dan (mungkin) manusia purba Homo erectus.

Beberapa daerah di Asia Tenggara mungkin mengalami dampak lebih parah yang berujung pada terjadinya pemusnahan massal berskala lokal. Daerah–daerah lainnya mungkin menerima dampak lebih ringan sehingga mampu bertahan dari kehancuran.

Asia Tenggara adalah terra inesplorata dalam kancah ilmu pengetahuan tumbukan benda langit.

Dari 190 kawah tumbukan yang telah terkonfirmasi statusnya pada saat ini, tak satupun yang berada di Asia Tenggara. Wilayah yang belum sepenuhnya terpetakan secara geologi seiring luasnya tutupan rimba belantara dan jaringan jalan raya yang belum bagus menjadi salah satu faktor utama penyebabnya.

Padahal dengan area demikian luas, setara separuh luas benua Eropa, tidak ada alasan bagi nihilnya kawah tumbukan benda langit di sini.

Beberapa kandidat memang telah diusulkan, misalnya situs arkeologi Bukit Bunuh (Malaysia), bagian taman bumi (geopark) global di Ciletuh (Indonesia) dan Mount Ashmore yang terkubur di dasar Laut Timor. Namun status kandidat–kandidat kawah itu belumlah final, terutama karena masih kekurangan jejak kunci seperti bukti metamorfosis tekanan tingkat tinggi pada kristal batuan setempat.

Di sisi lain, Asia Tenggara menarik perhatian besar dalam kurun seabad terakhir. Inilah kawasan yang setiap sudutnya ditebari oleh butir–butir batuan tak–biasa. Tektit namanya. Karena ditemukan secara meluas di sudut–sudut Asia tenggara dan Australia, maka tektit ini dinamakan tektit Australasia.

Tektit Australasia cukup familiar di Indonesia. Misalnya Batu Satam dari pulau Belitung, yang sesungguhnya bilitonit dan tergolong batu mulia. Juga Agni Mani di pulau Jawa, yang sesungguhnya adalah javanit. Orang Jawa Kuna menyebut Agni Mani sebagai mutiara api (dari surga), indikasi mereka mengetahui batu unik itu datang dari langit.

Demikian pula budaya Belitung, yang menempatkan Batu Satam sebagai batu meteorit karena jatuh dari langit pula, meski sesungguhnya terdapat perbedaan fundamental antara tektit dan meteorit.

Penghargaan atas tektit juga diperlihatkan penduduk asli Australia dan Filipina. Suku Aborigin menempatkan Ooga, yang sesungguhnya australit, sebagai ornamen suci, sementara suku Aeta menggunakan filipinit sebagai jimat dan perhiasan (gelang maupun kalung). Baik Batu Satam, Agni Mani, Ooga maupun filipinit merupakan bagian dari grup tektit Australasia.

Di kemudian hari, diketahui tektit Australasia ternyata tersebar di area yang lebih luas lagi, yang mencakup Samudera Indonesia, Samudera Pasifik bagian barat hingga Antartika bagian timur. Area serakan tektit Australasia seluas 150 juta km2, setara sepertiga luas permukaan Bumi, menjadikannya area serakan tektit terluas yang pernah ada.

Namun tidak seperti ketiga area serakan tektit utama lainnya yang masing–masing telah diketahui kawah tumbukan sumbernya, seperti Kawah Chesapeake Bay untuk area serakan tektit Amerika Utara, Kawah Bosumtwi untuk area serakan tektit Pantai Gading dan Kawah Nordlinger Ries bagi area serakan Eropa Tengah, tidak demikian halnya dengan tektit Australasia; di mana kawah tumbukan sumbernya menjadi misteri.

Padahal dengan usia paling muda di antara tektit–tektit utama lainnya, yakni hanya hanya 790.000 tahun, maka kawah tumbukan itu seharusnya masih tersisa di paras Bumi meski terpahat erosi. Kecuali jika tersembunyi oleh suatu alasan.

Di sinilah tim peneliti Earth Observatory of Singapore beserta partner-nya dari Thailand, Laos dan Amerika Serikat menyingkap misteri kawah tersebut. Asteroidnya ternyata jatuh di gunung berapi tak–biasa yang sedang meletus. Setelah Kawah Bolaven terbentuk dan melepaskan dampaknya yang menggidikkan, gunung berapi itu masih terus melanjutkan aktivitas letusannya hingga 770.000 tahun kemudian.

Magma yang dimuntahkannya sangat encer sehingga menyeruak dengan tipe letusan Hawaiian dan Strombolian. Akibatnya, lava basalt mengalir kemana–mana membentuk padang lava luas berhias pusat–pusat erupsi kecil, tanpa bisa membentuk gundukan kerucut tinggi layaknya gunung–gunung berapi di Indonesia.

Lava basalt mengalir menutupi Kawah Bolaven selapis demi selapis hingga akhirnya terkubur sepenuhnya. Bahkan ada indikasi beberapa pusat erupsi gunung berapi tak–biasa ini terhampar tepat di atas kawah yang sudah terkubur.

Meski masih harus diteliti lebih lanjut, termasuk salah satunya mengebor langsung Kawah Bolaven, penemuan ini telah menjawab salah satu tantangan besar dalam keilmuan tumbukan benda langit.

Selain itu, temuan ini mengingatkan kembali bahwa di luar sana, ada potensi bencana geologi yang tak kalah dahsyat dan tak kalah merusak dibanding bencana geologi seperti gempa bumi, letusan gunung berapi dan gerakan tanah; yakni bencana geologi akibat tumbukan benda langit, baik dari asteroid maupun komet.

Hingga 26 Januari 2020, telah ditemukan 2018 butir asteroid dekat–Bumi yang berpotensi bahaya (diameter > 100 meter, jarak terdekat ke Bumi < 7,48 juta kilometer). Mengenali ciri khas jejak tumbukan benda langit menjadi salah satu komponen guna menyusun mitigasi bencana tumbukan benda langit.

Dengan harapan, jika asteroid / komet yang akan jatuh menumbuk itu besar sekali, umat manusia tak mengalami nasib seperti kawanan dinosaurus yang perkasa namun tak berdaya menghadapi tumbukan asteroid 65 juta tahun silam.

https://sains.kompas.com/read/2020/01/28/193100223/asteroid-yang-jatuh-di-gunung-berapi-asia-tenggara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke