Mereka yang menilai bahwa memeriksa diri sendiri hanya menghabiskan waktu, merasa malu atau ketakutan akan menemukan penyakit, maka mereka cenderung tidak mau memeriksa diri mereka sendiri.
Setiap kenaikan 1 poin persepsi hambatan akan menurunkan peluang praktik pemeriksaan sendiri sebesar 0,93.
Secara teoritis, isyarat untuk melakukan tindakan (5) merupakan komponen HBM yang berkolerasi positif dengan munculnya perilaku sehat. Namun, dalam penelitian ini, kami menemukan sebaliknya. Individu yang memiliki isyarat kesehatan yang tinggi cenderung tidak mempraktikkan perilaku Sadari.
Riset ini mengukur isyarat kesehatan dengan menanyakan pada responden perilaku kesehatan positif secara umum (apakah mereka minum vitamin, melakukan pemeriksaan medis secara rutin, dan rajin berolah raga).
Dalam konteks ini, kami menduga bahwa bagi responden yang menunjukkan level perilaku sehat umum yang tinggi, optimisme kesehatan mereka berkembang menjadi optimisme yang tidak realistis, yang kami sebut sebagai bias optimisme.
Maksudnya, individu tidak merasa rentan terkena suatu penyakit karena secara umum mereka telah berperilaku sehat. Individu yang memiliki optimisme yang tidak realistis cenderung menganggap bahwa dirinya tidak rentan menderita suatu penyakit jika dibanding orang lain.
Hasil penelitian lainnya yang cukup kontradiktif dengan teori, kami mendapati bahwa persepsi terhadap kerentanan (1) dan keparahan (2) suatu penyakit ternyata tidak mempengaruhi keputusan individu untuk memeriksa payudara sendiri. Fakta ini dapat dijelaskan dengan beberapa kemungkinan berikut:
Pertama, kemungkinan partisipan tidak punya pengetahuan yang cukup akan kerentanannya terhadap kanker payudara serta sejauh mana keparahan kanker ini yang berdampak pada aspek fisik, psikologi, dan sosial penderita dan keluarganya.
Kedua, partisipan barangkali menginterpretasikan bahwa terdiagnosis kanker payudara merupakan “takdir Tuhan” sehingga perilaku preventif dianggap tidak relevan.
Ketiga, teori fear arousal mengindikasikan bahwa dengan memikirkan kerentanan dan keparahan kanker payudara merupakan ancaman bagi individu yang dapat memunculkan rasa takut.
Ketika individu merasa tidak memiliki sumber daya untuk mengatasi rasa takut tersebut, maka hal tersebut hanya akan memunculkan rasa takut yang berkelanjutan tanpa menghasilkan perubahan perilaku.
Kanker payudara, menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi pada perempuan di Indonesia. Di seluruh wilayah Indonesia, kanker payudara menempati peringkat pertama kasus kanker terbanyak (16,7% dari seluruh jenis kanker) dan peringkat kedua penyebab kematian akibat kanker (11%) pada 2018.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan sebagian besar pasien kanker payudara berusia 35 tahun ke atas. Mereka berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang bervariasi dan kebanyakan berasal dari daerah perkotaan.
Gerakan memeriksa payudara sendiri, yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan sejak 2015, secara rutin merupakan salah satu strategi untuk mencapai deteksi dini kanker payudara.
Strategi ini penting di negara-negara berkembang yang memiliki keterbatasan sumber daya dan akses pada layanan kesehatan terutama untuk skrining kanker payudara seperti mamografi dan USG.