Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tantangan Pengobatan Kanker Payudara HER2-positif di Indonesia

Kompas.com - 31/08/2019, 17:08 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebanyak 25 persen kasus kanker payudara Indonesia bertipe HER2-positif yang ganas. Sayangnya, pengobatan kanker payudara HER2-positif memiliki tantangan yang besar, terutama dari segi akses pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi penderita.

Tantangan tersebut terjadi akibat berbagai faktor, yang menurut dokter spesialis Onkologi, Dr Farida Briani Sobri Sp B Onk, perlu dilakukan pembenahan dari berbagai aspek pendukung pelayanan kesehatan, serta menuntut kewajiban dan keterlibatan dari berbagai pihak bukan hanya pelaksana medis saja.

Dia mencontohkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh pemerintah. Farida menilai bahwa untuk menjawab tantangan yang ada, seharusnya JKN memberikan edukasi tentang kanker payudara dan berbagai aspek terkait secara berkala dan berkelanjutan masyarakat umum.

“JKN oleh pemerintah kurang atau bahkan tidak memberikan edukasi secara besar dan berkelanjutkan. Jangan ketika pas ada hari peringatan penyakit kanker sedunia saja, misalnya,” ujar Farida.

Baca juga: 25 Persen Kanker Payudara di Indonesia adalah HER2 Positif Ganas

Edukasi atau pendidikan yang diberikan kepada masyarakat secara umum tersebut akan membantu masyarakat agar dengan sendirinya sadar mengenai apa yang harus dilakukan, jika kanker payudara HER2-positif menimpa mereka atau orang-orang di sekitarnya.

Kurangnya kesadaran dan kemampuan untuk melakukan pendeteksian dini dan mandiri terhadap kanker payudara membuat kasus-kasusnya sering kali baru dideteksi pada stadium lanjut.

“Selain itu, kebanyakan fasilitas kesehatan pemerintah tidak menanggung biaya deteksi dini, sehingga masyarakat yang tidak mampu merasa deteksi dini sulit untuk dilakukan,” katanya.

Farida juga berkata bahwa ada pula faktor prosedur tindakan di pusat pelayanan kesehatan yang tidak efektif dan memakan biaya besar, misalnya melakukan operasi tanpa pemeriksaan preoperatif sehingga terdapat kemungkinan terapi melebihi atau di bawah standar.

“Selain kompetensi dokternya, prosedur yang ada di beberapa pusat pelayanan kesehatan untuk berbagai penyakit, termasuk kanker payudara ini rumit. Kadang ada dokter yang tahu harus melakukan apa, tapi SOP rumah sakitnya bilang apa,” ujarnya.

Baca juga: Halo Prof! Apakah Kanker Payudara Bisa Turun ke Anak Perempuan?

Dia menjelaskan, misal kalau ada pasien yang hanya memerlukan tindakan biopsy per kutan minimal invasive (core biopsy) yang tidak ditanggung JKN, malah menurut SOP rumah sakit mengharuskan dokter melakukan tindakan di kamar operasi.

“Itu biayanya kalau operasi bisa meningkat 5-6 kali lipat, padahal kalau langsung biopsi bisa ringan dana yang dikeluarkan, lebih efektif juga dan efisien tentunya," katanya.

Menjawab tantangan tersebut, Farida menyatakan beberapa langkah yang seharusnya dapat dilakukan pemerintah agar kanker payudara dapat diobati ataupun dilakukan pencegahan semaksimal mungkin.

Pertama, edukasi dilakukan secara masif kepada masyarakat. Kedua, program deteksi dini juga harus dijalankan dengan dukungan penuh dari pemerintah dalam bentuk JKN. Ketiga, peningkatan pendidikan dokter untuk kompetensi yang sesuai standar terapi terkini. Keempat, dukungan pemerintah dalam mengupayakan obat-obat biosimilar dan prosedur terapi yang sesuai standar.

Baca juga: 3 Temuan Terbaru Pengobatan Kanker Payudara yang Bangkitkan Harapan

Farida menegaskan, pendidikan dokter berfokus pada organ karena mustahil seorang dokter mampu mendalami semua penyakit. Akibat dari generalisasi, pengetahuan dan skill akan dangkal serta cenderung tidak meng-update diri secara berkesinambungan.

Selain itu, dokter juga diharuskan untuk mencapai kompetensi tertentu untuk dapat menangani kanker payudara dengan baik dan benar. Kompetensi sebaiknya dinilai secara perorangan, bukan kolektif perhimpunan.

Dari sisi sistem rujukan rumah sakit, seharusnya berdasarkan kompetensi dokter, bukan pembayaran terendah oleh JKN. Birokrat-birokrat dalam bidang kesehatan juga harus berpikir kreatif, berani mendobrak kebiasaan atau aturan yang memang seharusnya terus direvisi mengikuti perkembangan situasi.

“Serta mau mengawasi secara serius dan tekun semua perjalanan menuju perubahan yang memiliki tujuan baik,” kata Farida.

Harapannya, semua stakeholder kanker secara berkesinambungan meningkatkan kerjasama untuk menjadikan kanker sebagai program prioritas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com