JAKARTA, KOMPAS.com – Kabinet Kerja Jilid 2 akan segera diumumkan. Menteri Kesehatan terakhir, Nila F Moeloek, telah bebas tugas. Beberapa nama menjadi bocoran untuk posisi Menteri Kesehatan.
Terlepas dari siapa yang akan menempati posisi Menteri Kesehatan, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta mengatakan bahwa Menkes selanjutnya harus ekstra kerja keras.
“Kemenkes itu menurut saya kementerian yang paling berat tugasnya. Butuh orang yang tak hanya teoritis, tapi bisa mengerti permasalahan,” tutur Marius kepada Kompas.com, Senin (21/10/2019).
Seperti apa permasalahan tersebut? Marius memaparkan tiga di antaranya.
Baru-baru ini Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan sejumlah potensi praktek kecurangan oleh BPJS Kesehatan. Hal ini menurut Marius berkaitan dengan keuntungan BPJS yang defisit setiap tahun.
“Mengapa selalu defisit? Karena mereka melanggar UU BPJS Kesehatan. Dalam undang-undang sudah tertera jelas. Jika mereka mengikuti aturan, pasti akan untung,” tutur Marius.
Baca juga: Menyoal Kenaikan Iuran BPJS, Ini Kata Pelaku Pelayanan Kesehatan
BPJS Kesehatan, lanjut Marius, seharusnya berlaku secara nasional. Namun saat ini BPJS Kesehatan baru berlaku di tingkat regional atau kecamatan, dan baru berlaku nasional hanya dalam kondisi darurat.
Saat ini Indonesia belum punya asuransi kesehatan tingkat nasional.
“Harusnya bersifat nasional, bukan regional. Secara gambaran kasar, ada 40 sektor formal yang belum tercover BPJS Kesehatan. Saya punya datanya,” tutur Marius.
Baca juga: Dokter Beberkan Lucunya Aturan BPJS, Kanker di Kiri Dibayari tapi Kanan Bayar Sendiri
Menurutnya, dana yang masuk harus dikelola dengan baik.
“Kalau tidak bisa mengelola, dikasih saja ke bank yang lebih sehat untuk mengelola dananya,” tambah ia.
Menurut Marius, Indonesia belum memiliki standar pelayanan medik nasional. Ini merupakan salah satu hal yang membuat Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
“Banyak investor kesehatan yang mau masuk ke Indonesia, namun Indonesia belum punya standar pelayanan medik nasional. Dananya sudah habis,” jelasnya.
Baca juga: Demi Keperluan Medis, Thailand Legalkan Mariyuana
Bagaimana tahapan untuk membuat standar pelayanan medik nasional? Marius menjelaskan bahwa standar tersebut dibuat oleh WHO dan ada deklarasi yang menyatakannya.
“Jangan heran orang Indonesia suka berobat ke Malaka, Singapura. Padahal di Indonesia SDM (dokter) ada, rumah sakit mewah ada. Sekarang layar sudah terkembang, Pak Jokowi pegang kemudi. Negara-negara lain akan investasi, kita harus gerak cepat,” tambah ia.