Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

YPKKI: 3 Persoalan Besar untuk Menteri Kesehatan Berikutnya

Kompas.com - 21/10/2019, 17:00 WIB
Sri Anindiati Nursastri

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Kabinet Kerja Jilid 2 akan segera diumumkan. Menteri Kesehatan terakhir, Nila F Moeloek, telah bebas tugas. Beberapa nama menjadi bocoran untuk posisi Menteri Kesehatan.

Terlepas dari siapa yang akan menempati posisi Menteri Kesehatan, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta mengatakan bahwa Menkes selanjutnya harus ekstra kerja keras.

Kemenkes itu menurut saya kementerian yang paling berat tugasnya. Butuh orang yang tak hanya teoritis, tapi bisa mengerti permasalahan,” tutur Marius kepada Kompas.com, Senin (21/10/2019).

Seperti apa permasalahan tersebut? Marius memaparkan tiga di antaranya.

BPJS Kesehatan

Baru-baru ini Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan sejumlah potensi praktek kecurangan oleh BPJS Kesehatan. Hal ini menurut Marius berkaitan dengan keuntungan BPJS yang defisit setiap tahun.

“Mengapa selalu defisit? Karena mereka melanggar UU BPJS Kesehatan. Dalam undang-undang sudah tertera jelas. Jika mereka mengikuti aturan, pasti akan untung,” tutur Marius.

Baca juga: Menyoal Kenaikan Iuran BPJS, Ini Kata Pelaku Pelayanan Kesehatan

BPJS Kesehatan, lanjut Marius, seharusnya berlaku secara nasional. Namun saat ini BPJS Kesehatan baru berlaku di tingkat regional atau kecamatan, dan baru berlaku nasional hanya dalam kondisi darurat.

Saat ini Indonesia belum punya asuransi kesehatan tingkat nasional.

“Harusnya bersifat nasional, bukan regional. Secara gambaran kasar, ada 40 sektor formal yang belum tercover BPJS Kesehatan. Saya punya datanya,” tutur Marius.

Baca juga: Dokter Beberkan Lucunya Aturan BPJS, Kanker di Kiri Dibayari tapi Kanan Bayar Sendiri

Menurutnya, dana yang masuk harus dikelola dengan baik.

“Kalau tidak bisa mengelola, dikasih saja ke bank yang lebih sehat untuk mengelola dananya,” tambah ia.

Ilustrasi rumah sakitWavebreakmedia Ilustrasi rumah sakit

Standar Pelayanan Medik Nasional

Menurut Marius, Indonesia belum memiliki standar pelayanan medik nasional. Ini merupakan salah satu hal yang membuat Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

“Banyak investor kesehatan yang mau masuk ke Indonesia, namun Indonesia belum punya standar pelayanan medik nasional. Dananya sudah habis,” jelasnya.

Baca juga: Demi Keperluan Medis, Thailand Legalkan Mariyuana

Bagaimana tahapan untuk membuat standar pelayanan medik nasional? Marius menjelaskan bahwa standar tersebut dibuat oleh WHO dan ada deklarasi yang menyatakannya.

“Jangan heran orang Indonesia suka berobat ke Malaka, Singapura. Padahal di Indonesia SDM (dokter) ada, rumah sakit mewah ada. Sekarang layar sudah terkembang, Pak Jokowi pegang kemudi. Negara-negara lain akan investasi, kita harus gerak cepat,” tambah ia.

Ilustrasi karantina,SHUTTERSTOCK Ilustrasi karantina,

Pengesahan UU Wabah dan UU Karantina

Undang-undang mengenai wabah terakhir disahkan adalah UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Sementara itu, Marius mengatakan, beberapa pihak telah membuat naskah akademik UU Wabah terbaru sejak empat tahun lalu.

“Naskah UU Wabah terbaru sudah kami masukkan ke DPR sejak empat tahun lalu. Itu mencakup wabah nuklir, biologis, dan kimia sesuai dengan standar luar negeri yaitu NBC (Nuclear, Biology, Chemistry),” tuturnya.

Baca juga: Indonesia Dinilai Siap Hadapi Wabah Menular

Marius mendesak Menkes selanjutnya untuk me-lobby DPR agar cepat mengesahkan UU Wabah. Hal ini karena wabah terutama nuklir dan biologi sudah marak dipakai untuk menyerang.

“Lihat sekarang teroris pakai apa? Wabah nuklir dan biologi. Makanya harus segera disahkan,” tambah ia.

Baca juga: Melihat Potensi Energi Nuklir Sebagai Energi Terbarukan Indonesia

Selain UU Wabah, Marius juga mendesak DPR untuk mengesahkan naskah UU Karantina. UU Karantina yang terakhir disahkan adalah UU No 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.

“Penting juga untuk mengesahkan UU Karantina. Naskahnya juga sudah masuk empat tahun lalu,” tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau