KOMPAS.com - Gedung putih baru-baru ini mengumumkan rencana untuk melarang rokok elektrik beraroma - kecuali untuk produk beraroma tembakau - karena kenaikan jumlah siswa menengah pertama dan menengah atas yang menggunakan produk-produk ini.
Beberapa hari kemudian, pemerintah India menyetujui untuk melarang produksi, impor maupun penjualan rokok elektrik.
Hingga saat ini, lebih dari 20 negara - kebanyakan di Amerika Selatan, Timur Tengah dan Asia Tenggara telah melarang penjualan produk-produk rokok elektrik. Beberapa negara juga telah melarang kepemilikan produk-produk ini.
Negara Thailand memiliki undang-undang yang paling ketat. Sementara negara-negara seperti Australia, Kanada dan Norwegia telah melakukan banyak pembatasan.
Baca juga: Penyakit Paru Misterius pada Pengguna Vape, Ini yang Para Ahli Ketahui
Penelitian menunjukkan bahwa rokok elektrik dapat membantu perokok untuk berhenti merokok secara teratur demi kesehatan jangka panjangnya. Tetapi orang-orang muda yang tidak pernah merokok kretek menggunakan rokok elektrik yang tersedia dalam 1.500 rasa, termasuk permen karet dan benang karet.
Dalam sebuah survei yang dilakukan terhadap anak berusia 12-17 tahun, 81 persen perokok elektrik memilih untuk menggunakan rokok elektrik karena tersedia dalam banyak rasa yang mereka sukai.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, lebih dari 3,6 juta anak di AS menggunakan rokok elektrik, dengan lonjakan 78 persen (dari 11,7 persen menjadi 20,8 persen) dari 2017 hingga 2018.
Di Inggris, 1,6 persen dari mereka yang berusia 11-18 tahun menggunakan rokok elektrik lebih dari sekali seminggu, dibandingkan dengan 0,5 persen pada tahun 2015.
Karena sifat nikotin yang membuat ketagihan, ada risiko bahwa rokok elektrik lebih mudah untuk beralih menggunakan rokok kretek. Memang, beberapa profesional kesehatan menyebut rokok elektrik sebagai “obat gerbang”.
Rokok elektrik membuat aerosol dengan memanaskan larutan kimia yang kompleks terdiri dari minyak, penyedap, dan nikotin. Partikel-partikel halus yang dilepaskan dalam uap memiliki ukuran dan konsentrasi yang sama dengan asap tembakau sehingga dapat mencapai sampai dalam paru-paru.
Beberapa bahan kimia ini beracun bagi sel, tetapi yang membuat penelitian tentang keselamatannya sulit adalah setiap produk memiliki komposisi kimia yang sangat berbeda yang ditentukan oleh suhu di mana alat uap memanaskannya.
Para peneliti telah menemukan bahwa vaping dapat melukai saluran udara, yang mengarah ke produksi jumlah lendir yang lebih besar dan peningkatan enzim pengurai jaringan yang disebut protease. Protease tingkat tinggi dapat menghancurkan jaringan paru-paru yang sensitif dan mengurangi kemampuan paru-paru kita untuk berfungsi.
Baca juga: Tak Usah Didebat Lagi, Vape Sama Bahayanya dengan Rokok Tembakau
Kerusakan yang dihasilkan pada paru-paru tidak dapat dipulihkan dan seiring waktu dapat menyebabkan kondisi paru-paru yang parah, termasuk emfisema yang umumnya ditemukan pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Bagi mereka yang sudah memiliki penyakit paru-paru kronis, seperti COPD atau asma, vaping dikaitkan dengan meningkatnya risiko terkena penyakit berbahaya lain.
Sebuah studi AS baru-baru ini, yang diterbitkan dalam American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, menyelidiki efek penggunaan rokok elektronik kronis pada penanda cedera paru-paru di saluran udara. Protease yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan meningkat pada perokok dan vapers, dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Masalah dengan menyelidiki potensi bahaya dari rokok elektrik adalah bahwa ada begitu banyak produk, perangkat dan perasa, sehingga tidak mungkin untuk membuat "standarisasi paparan".