Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semakin Banyak Negara yang Melarang Vape, Apa Alasannya?

Kompas.com - 27/09/2019, 17:04 WIB
Farren Anatje Sahertian,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Gedung putih baru-baru ini mengumumkan rencana untuk melarang rokok elektrik beraroma - kecuali untuk produk beraroma tembakau - karena kenaikan jumlah siswa menengah pertama dan menengah atas yang menggunakan produk-produk ini.

Beberapa hari kemudian, pemerintah India menyetujui untuk melarang produksi, impor maupun penjualan rokok elektrik.

Hingga saat ini, lebih dari 20 negara - kebanyakan di Amerika Selatan, Timur Tengah dan Asia Tenggara telah melarang penjualan produk-produk rokok elektrik. Beberapa negara juga telah melarang kepemilikan produk-produk ini.

Negara Thailand memiliki undang-undang yang paling ketat. Sementara negara-negara seperti Australia, Kanada dan Norwegia telah melakukan banyak pembatasan.

Baca juga: Penyakit Paru Misterius pada Pengguna Vape, Ini yang Para Ahli Ketahui

Penelitian menunjukkan bahwa rokok elektrik dapat membantu perokok untuk berhenti merokok secara teratur demi kesehatan jangka panjangnya. Tetapi orang-orang muda yang tidak pernah merokok kretek menggunakan rokok elektrik yang tersedia dalam 1.500 rasa, termasuk permen karet dan benang karet.

Dalam sebuah survei yang dilakukan terhadap anak berusia 12-17 tahun, 81 persen perokok elektrik memilih untuk menggunakan rokok elektrik karena tersedia dalam banyak rasa yang mereka sukai.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, lebih dari 3,6 juta anak di AS menggunakan rokok elektrik, dengan lonjakan 78 persen (dari 11,7 persen menjadi 20,8 persen) dari 2017 hingga 2018.

Di Inggris, 1,6 persen dari mereka yang berusia 11-18 tahun menggunakan rokok elektrik lebih dari sekali seminggu, dibandingkan dengan 0,5 persen pada tahun 2015.

Karena sifat nikotin yang membuat ketagihan, ada risiko bahwa rokok elektrik lebih mudah untuk beralih menggunakan rokok kretek. Memang, beberapa profesional kesehatan menyebut rokok elektrik sebagai “obat gerbang”.

Ilustrasi vapeMakcouD Ilustrasi vape

Enzim Berbahaya

Rokok elektrik membuat aerosol dengan memanaskan larutan kimia yang kompleks terdiri dari minyak, penyedap, dan nikotin. Partikel-partikel halus yang dilepaskan dalam uap memiliki ukuran dan konsentrasi yang sama dengan asap tembakau sehingga dapat mencapai sampai dalam paru-paru.

Beberapa bahan kimia ini beracun bagi sel, tetapi yang membuat penelitian tentang keselamatannya sulit adalah setiap produk memiliki komposisi kimia yang sangat berbeda yang ditentukan oleh suhu di mana alat uap memanaskannya.

Para peneliti telah menemukan bahwa vaping dapat melukai saluran udara, yang mengarah ke produksi jumlah lendir yang lebih besar dan peningkatan enzim pengurai jaringan yang disebut protease. Protease tingkat tinggi dapat menghancurkan jaringan paru-paru yang sensitif dan mengurangi kemampuan paru-paru kita untuk berfungsi.

Baca juga: Tak Usah Didebat Lagi, Vape Sama Bahayanya dengan Rokok Tembakau

Kerusakan yang dihasilkan pada paru-paru tidak dapat dipulihkan dan seiring waktu dapat menyebabkan kondisi paru-paru yang parah, termasuk emfisema yang umumnya ditemukan pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Bagi mereka yang sudah memiliki penyakit paru-paru kronis, seperti COPD atau asma, vaping dikaitkan dengan meningkatnya risiko terkena penyakit berbahaya lain.

Sebuah studi AS baru-baru ini, yang diterbitkan dalam American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, menyelidiki efek penggunaan rokok elektronik kronis pada penanda cedera paru-paru di saluran udara. Protease yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan meningkat pada perokok dan vapers, dibandingkan dengan yang bukan perokok.

Masalah untuk diteliti

Masalah dengan menyelidiki potensi bahaya dari rokok elektrik adalah bahwa ada begitu banyak produk, perangkat dan perasa, sehingga tidak mungkin untuk membuat "standarisasi paparan".

Menurut sebuah laporan oleh US Surgeon General, 97 persen perokok vape muda menggunakan produk rasa dalam 30 hari sebelumnya. Masing-masing produk rokok elektrik dilaporkan memiliki lebih dari enam bahan kimia penyedap dengan rasa paling manis yang memiliki jumlah senyawa yang jauh lebih tinggi.

Pengujian terhadap 166 produk rokok elektrik menunjukkan bahwa satu dari lima (21 persen) mengandung bahan kimia penyedap (benzyl alcohol, benzaldehyde, vanillin) yang dapat menjadi racun bagi saluran udara.

Beberapa bahan kimia beracun lainnya juga ditemukan dan nitrosamin spesifik tembakau (TSNAs), kelompok karsinogen penting dalam produk tembakau, berada di 70 persen pada produk yang diuji. Efek menghirup campuran bahan kimia yang kompleks ini akan sangat sulit untuk ditentukan.

Baca juga: Aman atau Tidak? Perdebatan dalam Dunia Kedokteran tentang Vape

Laporan terakhir tentang kematian di AS terkait dengan penggemar vaping lebih lanjut memang mengkhawatirkan keselamatan. CDC telah melaporkan peningkatan jumlah kasus (530 di 38 negara bagian) dari pneumonia "lipoid" (keberadaan lemak di paru-paru) yang misterius, yang sebagian besar terjadi pada pria muda yang melakukan vape dikaitkan dengan delapan kematian.

Tetapi perlu dicatat bahwa beberapa orang yang menderita pneumonia lipoid mengakui bahwa mereka melakukan vape THC (bahan aktif dalam ganja), meskipun yang lain bersikeras bahwa mereka hanya menggunakan produk nikotin dengan rokok elektrik mereka.

Satu zat yang disebut vitamin E asetat telah diidentifikasi juga dalam semua sampel yang diuji oleh pihak kesehatan negara bagian New York, tetapi tidak ada cukup bukti untuk menyatakan apakah ini adalah penyebab penyakit. Dan sejauh ini, tidak ada kasus pneumonia lipoid telah dilaporkan di luar AS.

Baca juga: Temuan Baru, Vape Tingkatkan Risiko Kanker

Bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa vaping bukan alternatif yang aman untuk merokok tembakau. Ini, ditambah dengan tren yang mengkhawatirkan anak-anak muda, yang sebelumnya bukan perokok tertarik pada vaping, menimbulkan kekhawatiran akan adanya generasi lain yang menderita penyakit paru-paru kronis.

Sebuah studi baru-baru ini di The Lancet memperkirakan bahwa pada tahun 2040, COPD akan menjadi satu-satunya penyakit dalam sepuluh penyebab utama kematian yang masih akan meningkat. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com