Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wiranto Sebut Karhutla Tak Parah, Citra Satelit NASA Berkata Lain

Kompas.com - 20/09/2019, 19:03 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

Sumber NASA

Kebakaran gambut melepaskan sejumlah besar gas dan partikel, termasuk karbon dioksida, metana, dan partikel halus (PM2.5).

Karbon dioksida dan metana adalah gas rumah kaca yang potensial yang menghangatkan iklim. PM 2,5 adalah campuran partikel halus yang dikenal memiliki efek kesehatan negatif.

PM 2,5 termasuk jenis aerosol yang mengandung karbon organik dan karbon hitam dan dianggap sangat berbahaya karena partikelnya sangat kecil sehingga bisa masuk ke paru-paru dan aliran darah.

Penelitian kesehatan mengaitkan paparan karbon hitam dengan penyakit pernapasan, masalah jantung, dan kematian dini. Bukti menunjukkan kemungkinan toksisitas aerosol karbon organik juga, meskipun efek kesehatannya kurang diteliti daripada beberapa jenis partikel lainnya.

Seperti yang telah dia lakukan di musim kebakaran yang lalu, ilmuwan NASA Goddard Institute for Space Studies Robert Field telah melacak perkembangan musim kebakaran di Indonesia.

"Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun ini mengingatkan pada bencana yang sama di tahun 2015," kata Field, yang bekerja pada sebuah proyek untuk memahami bagaimana berbagai variabel meteorologis memengaruhi kemungkinan pembakaran vegetasi.

Sebagai bagian dari upaya itu, ia juga bekerja pada proyek ilmu terapan NASA untuk mengintegrasikan lebih banyak pengukuran curah hujan berbasis satelit ke dalam sistem pemantauan bahaya kebakaran yang digunakan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Indonesia (BMKG).

"Hitungan api dari satelit MODIS dan VIIRS belum setinggi di tahun 2015, tetapi peningkatan aktivitas karhutla sebanding dengan 2015," kata Field.

"Namun, perlu diingat bahwa sebagian besar kebakaran terjadi di bawah permukaan tanah, sehingga tidak bisa ditangkap satelit," ungkap Field.

Dua kebakaran besar di Indonesia — 1997 dan 2015 — kondisi El Nino menyebabkan kekeringan yang merupakan faktor utama dalam memperburuk kebakaran.

Pada 2019, kondisi El Nino netral, tetapi osilasi suhu permukaan laut yang disebut Dipole Samudera Hindia tampaknya bertanggung jawab atas kondisi kering tahun ini, jelas Field.

Kondisi terkini

Terkait ungkapan Wiranto, banyak warganet yang memberi gambaran terkini terkait kondisi daerah terdampak kabut asap.

Salah satunya akun @rigoshancy. Dia memberikan gambaran Pekanbaru kemarin pagi.

"Pekanbaru tadi pagi. Awan aja masi kliatan, warga riau lebay. Ya kan pak Wir?!!" tulis @rigoshancy.

Seorang warganet @wirandagalang yang tinggal di Batusangkar, Sumatera Barat, menyayangkan ungkapan Wiranto yang menyebut keadaan masih aman. Pasalnya, dia mengaku asap sudah sampai wilayahnya dan kesehatan masyarakat sudah mulai terganggu.

Banyak juga warganet yang menantang pejabat pemerintah untuk tinggal di wilayah terdampak agar dapat merasakan perubahan kualitas udara yang berubah drastis menjadi level berbahaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau