"Di sana ketika saya melihat dengan Presiden antara realitas dengan yang dikabarkan (media) dengan yang ada itu sangat berbeda. Ternyata kemarin waktu kami di Riau tidak separah yang diberitakan," ujar Wiranto di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (18/9/2019).
"Jarak pandang masih bisa, pesawat masih bisa mendarat. Masyarakat banyak yang belum pakai masker. Kami pun tidak pakai masker. Jarak pandang pada siang masih jelas. Awan-awan terlihat," ungkap dia.
Kata satelit NASA
Meski Wiranto berkata demikian, citra satelit milik NASA justru menampilkan kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dari luar angkasa. Dari gambar di bawah ini, tampak bagaimana kabut asap putih menyelimuti hampir seluruh daratan.
Gambar ini diambil dengan menggunakan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dari satelit AQUA milik NASA, pada Minggu (15/9/2019).
Situs resmi pengamatan Bumi milik NASA, earthobservatory.nasa.gov memperingatkan, gambar yang menunjukkan asap pekat melayang di atas pulau merujuk pada kualitas udara yang sudah sangat berbahaya dan membahayakan kesehatan makhluk hidup di wilayah tersebut.
Disebutkan pula, satelit NASA telah mendeteksi bukti kebakaran di wilayah Kalimantan dan Sumatera sepanjang Agustus, tapi jumlah dan intensitasnya melonjak pada minggu pertama September.
Operational Land Imager (OLI) di Landsat 8 mengambil gambar di bawah ini. Foto ini menunjukkan, api membakar beberapa daerah kelapa sawit di Kalimantan Selatan.
Untuk mensimulasikan karbon organik, pemodel memanfaatkan pengamatan satelit terhadap aerosol dan kebakaran.
GEOS-FP juga mengolah data meteorologi seperti suhu udara, kelembaban, dan angin untuk memproyeksikan apa yang terjadi di atmosfer. Dalam hal ini, asap tetap relatif dekat dengan sumber api karena angin sangat kecil.
GEOS FP, seperti model cuaca dan iklim lainnya, menggunakan persamaan matematika yang mewakili proses fisik untuk menghitung apa yang terjadi di atmosfer. Model ini menghitung posisi dan konsentrasi partikel karbon organik setiap lima menit.
Model ini mengolah data aerosol baru pada interval tiga jam, data meteorologi baru pada interval enam jam, dan data kebakaran baru setiap hari.
Peta gambut yang tersedia melalui Pusat Atlas Penelitian Kehutanan Internasional Kalimantan menunjukkan, banyak kebakaran terjadi di dalam atau di dekat daerah-daerah dengan lahan gambut.
Kebakaran gambut cenderung sulit dipadamkan, seringkali membara di bawah permukaan tanah sampai berbulan-bulan hingga musim hujan tiba.
Kebakaran gambut melepaskan sejumlah besar gas dan partikel, termasuk karbon dioksida, metana, dan partikel halus (PM2.5).
Karbon dioksida dan metana adalah gas rumah kaca yang potensial yang menghangatkan iklim. PM 2,5 adalah campuran partikel halus yang dikenal memiliki efek kesehatan negatif.
PM 2,5 termasuk jenis aerosol yang mengandung karbon organik dan karbon hitam dan dianggap sangat berbahaya karena partikelnya sangat kecil sehingga bisa masuk ke paru-paru dan aliran darah.
Penelitian kesehatan mengaitkan paparan karbon hitam dengan penyakit pernapasan, masalah jantung, dan kematian dini. Bukti menunjukkan kemungkinan toksisitas aerosol karbon organik juga, meskipun efek kesehatannya kurang diteliti daripada beberapa jenis partikel lainnya.
Seperti yang telah dia lakukan di musim kebakaran yang lalu, ilmuwan NASA Goddard Institute for Space Studies Robert Field telah melacak perkembangan musim kebakaran di Indonesia.
"Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun ini mengingatkan pada bencana yang sama di tahun 2015," kata Field, yang bekerja pada sebuah proyek untuk memahami bagaimana berbagai variabel meteorologis memengaruhi kemungkinan pembakaran vegetasi.
Sebagai bagian dari upaya itu, ia juga bekerja pada proyek ilmu terapan NASA untuk mengintegrasikan lebih banyak pengukuran curah hujan berbasis satelit ke dalam sistem pemantauan bahaya kebakaran yang digunakan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Indonesia (BMKG).
"Hitungan api dari satelit MODIS dan VIIRS belum setinggi di tahun 2015, tetapi peningkatan aktivitas karhutla sebanding dengan 2015," kata Field.
"Namun, perlu diingat bahwa sebagian besar kebakaran terjadi di bawah permukaan tanah, sehingga tidak bisa ditangkap satelit," ungkap Field.
Dua kebakaran besar di Indonesia — 1997 dan 2015 — kondisi El Nino menyebabkan kekeringan yang merupakan faktor utama dalam memperburuk kebakaran.
Pada 2019, kondisi El Nino netral, tetapi osilasi suhu permukaan laut yang disebut Dipole Samudera Hindia tampaknya bertanggung jawab atas kondisi kering tahun ini, jelas Field.
Terkait ungkapan Wiranto, banyak warganet yang memberi gambaran terkini terkait kondisi daerah terdampak kabut asap.
Salah satunya akun @rigoshancy. Dia memberikan gambaran Pekanbaru kemarin pagi.
Seorang warganet @wirandagalang yang tinggal di Batusangkar, Sumatera Barat, menyayangkan ungkapan Wiranto yang menyebut keadaan masih aman. Pasalnya, dia mengaku asap sudah sampai wilayahnya dan kesehatan masyarakat sudah mulai terganggu.
https://sains.kompas.com/read/2019/09/20/190300623/wiranto-sebut-karhutla-tak-parah-citra-satelit-nasa-berkata-lain