KOMPAS.com - Berita perselingkuhan yang berujung pada pembunuhan saat ini sering menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat.
Di sisi lain, kehidupan seseorang yang senang berselingkuh dan gonta-ganti pasangan merupakan kehidupan seks bebas berisiko menimbulkan berbagai penyakit. Terutama Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Menurut Akademisi dan Praktisi Klinis, Dr Ari Fahrial Syam, HIV mengintai pelaku pembunuhan dalam kasus terkait perselingkuhan dan gonta-ganti pasangan.
Ari menyebutkan penyakit ini juga dapat menyerang semua kelas sosial masyarakat. Bahkan, ibu rumah tangga yang tidak gonta-ganti termasuk profesi, bahkan ibu rumah tangga (IRT) yang tidak gonti-ganti pasanganpun bisa saja menderita HIV karena mungkin tertular dari suaminya yang suka “jajan” di luar.
"Status sosial yang tinggi sekali pun bukan jaminan seseorang bebas dari penyakit ini," ujar Ari.
Baca juga: Vaksin HIV Akan Segera Diujikan pada Ribuan Orang di 8 Negara
Dari sudut kesehatan, gonta-ganti pasangan berisiko penyakit. Hal ini dikelompokkan sebagai Sexually Transmitted Disease (STD).
Para wanita yang gonta-ganti pasangan juga berisiko terjadinya kanker mulut rahim. Sedangkan pada pria dapat menambah risiko untuk menderita kanker prostat.
"Pernah ada pasien laki-laki muda datang kepada saya karena menderita infeksi kencing nanah (GO) setelah berhubungan dengan wanita 'baik-baik'. Sang pasien tidak habis pikir wanita yang disangka 'baik-baik' tersebut ternyata menularkan kencing nanah kepada dirinya," katanya.
Penyakit kelamin tidak mengenal status sosial. Siapapun yang berhubungan seks dengan seseorang dan kehidupan seks gonta-ganti pasangan, berpotensi menularkan penyakit yang didapat dari pasangan seks sebelumnya.
Baca juga: Kenapa Pria Tega Bunuh Pasangan karena Ditolak Berhubungan Seks?
Pasien dengan HIV positif atau dengan hepatitis B atau C sama dengan orang normal tanpa infeksi virus tersebut.
Ketiga penyakit virus ini merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Yang membedakan satu dengan yang lain adalah di dalam darah pasien dengan HIV atau pasien dengan hepatitis B atau C mengandung virus tersebut, sedangkan yang lain tidak.
"Secara fisik tidak dapat dibedakan siapa yang didalam tubuhnya mengandung virus yang sangat berbahaya tersebut. Oleh karena itu saat berhubungan seks dengan seseorang yang bukan istrinya, maka kita sudah berisiko untuk mengalami penyakit infeksi yang berbahaya dan mematikan," tambahnya.
Baca juga: Dua Garis Biru, Bagaimana Sih Kenalkan Edukasi Seks pada Anak?
Dijelaskan oleh Ari bahwa fase tanpa keluhan penderita infeksi virus ini dapat berlangsung selama 5-10 tahun sampai orang tersebut merasakan gejalanya.
Oleh karena itu sering didapatkan pasien yang mengalami HIV AIDS saat ini dan menduga tertular pada saat 5 atau 10 tahun yang lalu, karena mereka menyampaikan setelah menikah 5 tahun belakangan ini.
"Kebanyakan dari mereka mengaku tidak pernah berhubungan seks dengan orang lain kecuali kepada istri atau suami sahnya saja, makanya harus melihat bagaimana mereka 5 hingga 10 tahun belakang. Contohnya, seorang ibu muda baik-baik yang akan menikah, menderita HIV kemungkinan tertular dari mantan pacarnya yang menderita narkoba, di mana saat pacaran sewaktu duduk di bangku SMA dulu pernah berhubungan seks beberapa kali," kata Ari.