Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Heboh Kasus Perselingkuhan Berujung Pembunuhan, Ini Sisi Klinisnya

Kompas.com - 10/09/2019, 09:09 WIB
Ellyvon Pranita,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Berita perselingkuhan yang berujung pada pembunuhan saat ini sering menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat.

Di sisi lain, kehidupan seseorang yang senang berselingkuh dan gonta-ganti pasangan merupakan kehidupan seks bebas berisiko menimbulkan berbagai penyakit. Terutama Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Menurut Akademisi dan Praktisi Klinis, Dr Ari Fahrial Syam, HIV mengintai pelaku pembunuhan dalam kasus terkait perselingkuhan dan gonta-ganti pasangan.

Ari menyebutkan penyakit ini juga dapat menyerang semua kelas sosial masyarakat. Bahkan, ibu rumah tangga yang tidak gonta-ganti termasuk profesi, bahkan ibu rumah tangga (IRT) yang tidak gonti-ganti pasanganpun bisa saja menderita HIV karena mungkin tertular dari suaminya yang suka “jajan” di luar.

"Status sosial yang tinggi sekali pun bukan jaminan seseorang bebas dari penyakit ini," ujar Ari.

Baca juga: Vaksin HIV Akan Segera Diujikan pada Ribuan Orang di 8 Negara 

Dari sudut kesehatan, gonta-ganti pasangan berisiko penyakit. Hal ini dikelompokkan sebagai Sexually Transmitted Disease (STD).

Para wanita yang gonta-ganti pasangan juga berisiko terjadinya kanker mulut rahim. Sedangkan pada pria dapat menambah risiko untuk menderita kanker prostat.

"Pernah ada pasien laki-laki muda datang kepada saya karena menderita infeksi kencing nanah (GO) setelah berhubungan dengan wanita 'baik-baik'. Sang pasien tidak habis pikir wanita yang disangka 'baik-baik' tersebut ternyata menularkan kencing nanah kepada dirinya," katanya.

Penyakit kelamin tidak mengenal status sosial. Siapapun yang berhubungan seks dengan seseorang dan kehidupan seks gonta-ganti pasangan, berpotensi menularkan penyakit yang didapat dari pasangan seks sebelumnya.

Baca juga: Kenapa Pria Tega Bunuh Pasangan karena Ditolak Berhubungan Seks?

Pasien dengan HIV positif atau dengan hepatitis B atau C sama dengan orang normal tanpa infeksi virus tersebut.

Ketiga penyakit virus ini merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Yang membedakan satu dengan yang lain adalah di dalam darah pasien dengan HIV atau pasien dengan hepatitis B atau C mengandung virus tersebut, sedangkan yang lain tidak.

"Secara fisik tidak dapat dibedakan siapa yang didalam tubuhnya mengandung virus yang sangat berbahaya tersebut. Oleh karena itu saat berhubungan seks dengan seseorang yang bukan istrinya, maka kita sudah berisiko untuk mengalami penyakit infeksi yang berbahaya dan mematikan," tambahnya.

Baca juga: Dua Garis Biru, Bagaimana Sih Kenalkan Edukasi Seks pada Anak?

Dijelaskan oleh Ari bahwa fase tanpa keluhan penderita infeksi virus ini dapat berlangsung selama 5-10 tahun sampai orang tersebut merasakan gejalanya.

Oleh karena itu sering didapatkan pasien yang mengalami HIV AIDS saat ini dan menduga tertular pada saat 5 atau 10 tahun yang lalu, karena mereka menyampaikan setelah menikah 5 tahun belakangan ini.

"Kebanyakan dari mereka mengaku tidak pernah berhubungan seks dengan orang lain kecuali kepada istri atau suami sahnya saja, makanya harus melihat bagaimana mereka 5 hingga 10 tahun belakang. Contohnya, seorang ibu muda baik-baik yang akan menikah, menderita HIV kemungkinan tertular dari mantan pacarnya yang menderita narkoba, di mana saat pacaran sewaktu duduk di bangku SMA dulu pernah berhubungan seks beberapa kali," kata Ari.

Dikatakan Ari, sampai saat ini vaksin yang established yang dapat digunakan untuk mengobati HIV AIDS secara luas belum ditemukan.

Baca juga: Peta Interaktif - Merata se-Indonesia, Sebaran Anak dengan HIV/AIDS

Namun, obat-obat anti retroviral (ARV) yang ada saat ini sudah mampu menekan jumlah virus sampai tidak terdeteksi, bisa menekan penyebaran virus sampai lebih 90 persen.

Di Indonesia ARV saat ini masih gratis dengan akses mudah untuk mendapatkannya. Meski demikian, menurut Ari saat ini angka penggunaan ARV di Indonesia masih rendah.

"Pasien-pasien HIV yang tidak mau mengkonsumsi ARV dengan berbagai alasan lebih cepat menghadap Yang Maha Kuasa," tutur Ari.

Gejala klinis akibat virus baru muncul pada penderita infeksi HIV yang sudah lanjut, jika daya tahan tubuhnya sudah menurun.

Berbagai infeksi oportunistik akan muncul seperti sariawan karena jamur kandida, TBC paru, infeksi otak, diare kronik karena infeksi jamur atau parasit atau berupa bercak hitam di kulit.

Baca juga: Kali Pertama, Modifikasi Gen Sembuhkan HIV pada Hewan Hidup

Selain itu, pasien HIV yang sudah masuk tahap lanjut ini mengalami penurunan berat badan.

Hasil pemeriksaan laboratorium pasien terinfeksi HIV, jumlah lekositnya akan kurang dari 5000 dengan limfosit kurang dari 1000.

Diare kronik, sariawan di mulut dan berat badan turun merupakan gejala utama jika pasien sudah mengalami infeksi HIV lanjut dan sudah masuk fase AIDS.

Beberapa cara disarankan oleh Ari untuk dapat mencegah infeksi ini lebih lanjut. Pertama, stop gonta-ganti pasangan. Selanjutnya, stop berselingkuh yang dibumbui seks bebas.

Terakhir, siapa saja yang pernah melakukan hubungan seksual, terutama hubungan seksual di luar nikah dan pernah menggunakan jarum suntik yang tidak steril atau pernah menggunakan narkoba jarum suntik dianjurkan untuk memeriksa status HIV-nya.

"Karena semakin dini pasien HIV diberikan obat anti virus (ARV), semakin cepat menurunkan jumlah virus dan mengurangi potensi penularan dan tentu, pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV tersebut," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com