Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BMKG Jelaskan Penyebab Musim Hujan 2019/2020 di Indonesia Terlambat

Kompas.com - 20/08/2019, 20:06 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com- BMKG memprediksikan bahwa musim kemarau tahun ini akan lebih lama dari biasanya karena musim hujan datang terlambat. Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya, apa penyebabnya?

Kompas.com menghubungi Adi Ripaldi,Kasubid Analisis Informasi Iklim BMKG, untuk mendapatkan penjelasannya.

Adi mengatakan bahwa meskipun El-nino sudah melemah dan sudah pada kondisi netral, namun beberapa faktor lainnya juga mempengaruhi iklim di wilayah Indonesia.

Berikut adalah El Nino dan empat faktor pengendali iklim di Indonesia lainnya yang menyebabkan kekeringan panjang pada musim kemarau tahun ini.

1. ENSO (El-Nino dan La Nina)

ENSO (El Nino-Southern Oscillation) adalah variasi lebih panas atau dingin dari suhu permukaan laut di wilayah equator tengah dan timur Samudera Pasifik yang reguler atau berkala.

ENSO ini berpengaruh terhadap variasi iklim di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis Bumi. Periode panasnya disebut sebagai El Nino, sementara periode dinginnya disebut La Nina.

Baca juga: 8 Cara Menjaga Rumah Tetap Dingin di Musim Kemarau, Menurut Sains

BMKG melaporkan bahwa pada Agustus 2019, anomali suhu muka laut di wilayah Samudera Pasifik bagian tengah berada pada kisaran -0,5 hingga 0,5 derajat celcius. Ini menandai kondisi netral dan berakhirnya episode El Nino lemah tahun 2018/2019.

Seharusnya, jika El- Nino melemah atau berakhir, maka musim hujan akan datang sesuai normalnya. Namun, ada 3 faktor lainnya yang menjadikan Indonesia tetap dalam kekeringan dan musim hujan terlambat.

2. IOD (Indian Ocean Dipole)

Kondisi IOD ikut mengganggu dalam variasi iklim di Indonesia. Jika dalam pemantauan hasil IOD menunjukkan positif (+), maka wilayah Indonesia barat akan kering. Sebaliknya jika IOD menunjukkan kondisi negatif (-), maka wilayah Indonesia barat akan basah.

"IOD sekarang kondisinya positif. Ini artinya akan memperparah kering wilayah barat Indonesia. Namun, (IOD) diprediksi menuju netral menjelang akhir tahun 2019" ujar Adi.

Adi juga mengatakan bahwa wilayah Sumatera dan Jawa bagian barat akan terganggu curah hujannya akibat kondisi IOD saat ini.

Baca juga: BMKG: Musim Kemarau Tahun Ini Lebih Lama, Harap Waspada Kekeringan

3. SST (Sea Surface Temperature)

Biasa ditulis dalam bahasa klimatologi sebagai SST, suhu permukaan laut juga menjadi bagian penting dalam pengendali iklim di Indonesia.

Menurut Adi, suhu muka laut di Indonesia masih dingin hingga Oktober 2019 sehingga penguapan yang berpotensi bagi pertumbuhan awan-awan hujan masih kurang hingga Oktober.

"Kalau tidak panas suhu muka laut, maka tidak ada penguapan. Sedangkan awan itu terbentuk paling banyak dari penguapan air laut. Makanya untuk hujan alami ataupun (membuat) hujan buatan juga sulit," ujar Adi.

4. Monsun (angin)

Awal musim hujan erat kaitannya dengan mulai dominannya Monsun Asia (angin baratan) yang mengalirkan udara basah dari Benua Asia melewati wilayah Indonesia dan bergerak menuju benua Australia.

BMKG memprediksi peralihan angin timuran menjadi angin baratan (Monsun Asia) pada tahun ini akan terlambat.

Baca juga: Kemarau Kok Suhu Dingin? BMKG Ungkap Penyebabnya Dry Intrution

Monsun Asia akan datang ke Indonesia dimulai dari wilayah Sumatera bagian utara pada bulan November 2019, lalu wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi pada Desember 2019. Namun, pada Januari 2020, Monsun Asia diprediksi telah dominan aktif di seluruh wilayah Indonesia.

“Perubahan angin timur (kering) menjadi angin barat (basah) juga terlambat dan baru aktif di November (2019),” kata Adi.

5. MJO (Madden Julian Oscillation)

Masih menurut Adi, MJO adalah gangguan atmosfer di atas equator skala luas yang bergerak dari barat Samudra Hindia hingga timur Samudra Pasifik. MJO menggangu dalam periode musim yang dalam istilah iklimnya disebut sebagai Subseasonal to Seasonal (S2S).

Ketika fase MJO aktif dan bergerak di atas wilayah Indonesia, fenomena yang menggangu ialah wilayah Indonesia akan basah (bertambah basah). Sebaliknya setelah MJO melewati wilayah Indonesia dan bergerak menuju laut pasifik maka yang terjadi adalah hujan akan berkurang, bahkan semakin bertambah kering.

Baca juga: Musim Hujan Bakal Terlambat, Ini Saran BMKG untuk Antisipasi Kekeringan

“Biasanya periode siklus MJO terjadinya 40-60 harian, terus bergerak dari barat ke timur. Ketika melintas di wilayah Indonesia pada fase 4 dan 5, waktunya pendek sekitar 3-4 hari menggangunya, makanya hujan di Indonesia menjadi bertambah atau meningkat,” jelas Adi.

Nah ketika meninggalkan wilayah Indonesia, MJO justru membuat curah hujan berkurang atau kering selama berapa hari meskipun sedang musim hujan.

"Itulah kenapa MjO disebut fenomena gangguan di dalam periode musim," jelas Adi.

Dikatakan Adi, khusus wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, awal musim hujan yang biasanya terjadi pada Oktober-November akan mundur ke November-Desember.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com