Saat anak intoleran terhadap laktosa dalam susu, hal ini akan mengakibatkan alergi susu dan gangguan pencernaan.
Kasus gangguan pencernaan akibat intoleransi laktosa di Indonesia cukup tinggi dan terus meningkat sesuai pertambahan usia, yaitu 21,3 persen pada usia 3-5 tahun, 57,8 persen pada usia 6-11 tahun dan 73 persen pada usia 12-14 tahun.
Intoleransi laktosa adalah ketidakmampuan mencerna laktosa dalam susu atau makanan dari produk susu, dengan gejala berupa nyeri pada perut, kembung dan diare.
Intoleransi laktosa terjadi akibat bekurangnya enzim laktase secara fisiologis saat bayi atau balita mulai disapih.
Artinya, saat konsumsi makanan padat meningkat, tubuh mengurangi kemampuan untuk mencerna susu dalam volume besar.
Selain itu, intoleransi laktosa juga bisa menimbulkan alergi susu sapi. Setidaknya 2-7 persen bayi terbukti mengalami alergi susu sapi dan 23 persen mengalami dermatitis atopik alias penyakit yang membuat kulit ruam dan gatal.
Anak dengan alergi susu sapi bisa memiliki gejala ringan (gangguan menelan) sampai berat (diare, nyeri perut, gangguan pertumbuhan).
Risiko kontaminasi saat susu tidak disimpan secara tepat juga bisa menyebabkan munculnya penyakit tertentu yang dihantarkan lewat makanan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menganjurkan untuk mengganti paradigma lama "4 sehat 5 sempurna" yang menekankan konsumsi susu sebagai penyempurna menu makanan sehari-hari.
Sebagai gantinya, menu gizi seimbang di kalangan anak sekolah adalah berupa konsumsi berbagai jenis makanan bergizi dari sumber bahan pangan lokal seperti buah, sayur, ikan, tempe, dan telur.
Hal ini pun sudah dimuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang.
Dalam Permenkes tersebut disebutkan, susu masuk dalam kategori "Lauk pauk sumber protein" bersama ikan, telur, unggas, daging, dan kacang-kacangan serta hasil olahannya (tahu da tempe).