KOMPAS.com - Setelah anak tamat ASI, biasanya orangtua masih memberikan susu formula untuk anak. Hal ini pun didukung oleh berbagai promosi konsumsi susu yang diyakini dapat mempercepat perbaikan gizi.
Namun tahukah Anda, para ahli dan dokter yang tergabung dalam Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) justru tidak mengindahkan pemberian susu tambahan pada anak?
Mengapa demikian? Mari kita kupas satu persatu.
Baca juga: Seri Baru Jadi Ortu: 10 Fakta Bayi Baru Lahir yang Jarang Diketahui
Dr. dr. Tan Shot Yen, M. Hum Ahli Gizi Komunitas menerangkan, apapun jenis makanan atau minuman yang diutak-atik komposisinya, itu berarti formula.
"Formula kan artinya rumus. Jadi bahan bakunya susu, tapi diutak-atik dengan perhitungan yang dianggap "cocok" untuk kebutuhan seorang individu," jelas Tan kepada Kompas.com, Rabu (14/8/2019).
Dalam kesempatan ini Tan juga meluruskan bahwa bayi sampai dengan usia 6 bulan hanya butuh air susu ibu (ASI).
Kemudian, ASI ini bisa diteruskan hingga anak berusia dua tahun atau lebih.
"Selebihnya bagaimana? Untuk seterusnya anak tidak butuh susu," tegas Tan menggarisbawahi.
Setelah anak berusia lebih dari dua tahun, anak sudah bisa mengunyah dan makan sendiri. Ini artinya, kebutuhan gizi anak sudah bisa disandarkan pada pola makan sehat seimbang.
Apa yang dijelaskan Tan ini selaras dengan anjuran Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Prof. Dr. dr. Nila Djuwita, Sp.M (K).
"Mencukupi gizi anak-anak di Indonesia tidak harus dengan susu. Ada makanan lain yang memiliki gizi sama dengan susu, tetapi pasokannya jauh lebih berlimpah untuk mencukupi kebutuhan seluruh anak Indonesia. Makanan tersebut tidak lain adalah ikan," ujar Menteri Nila seperti dimuat dalam rilis GKIA tentang Kedudukan Konsumsi Susu dalam Kerangka Percepatan Perbaikan Gizi.
Produk susu bisa saja diberika pada anak. Dengan catatan, ada resep dari dokter dan anak memiliki kebutuhan khusus.
Para pemerhati GKIA mengatakan, susu pabrik justru bisa berisiko membahayakan kesehatan anak karena tingginya prevalensi intoleransi laktosa akibat konsumsi susu di kalangan anak Indonesia.
Saat anak intoleran terhadap laktosa dalam susu, hal ini akan mengakibatkan alergi susu dan gangguan pencernaan.
Kasus gangguan pencernaan akibat intoleransi laktosa di Indonesia cukup tinggi dan terus meningkat sesuai pertambahan usia, yaitu 21,3 persen pada usia 3-5 tahun, 57,8 persen pada usia 6-11 tahun dan 73 persen pada usia 12-14 tahun.
Intoleransi laktosa adalah ketidakmampuan mencerna laktosa dalam susu atau makanan dari produk susu, dengan gejala berupa nyeri pada perut, kembung dan diare.
Intoleransi laktosa terjadi akibat bekurangnya enzim laktase secara fisiologis saat bayi atau balita mulai disapih.
Artinya, saat konsumsi makanan padat meningkat, tubuh mengurangi kemampuan untuk mencerna susu dalam volume besar.
Selain itu, intoleransi laktosa juga bisa menimbulkan alergi susu sapi. Setidaknya 2-7 persen bayi terbukti mengalami alergi susu sapi dan 23 persen mengalami dermatitis atopik alias penyakit yang membuat kulit ruam dan gatal.
Anak dengan alergi susu sapi bisa memiliki gejala ringan (gangguan menelan) sampai berat (diare, nyeri perut, gangguan pertumbuhan).
Risiko kontaminasi saat susu tidak disimpan secara tepat juga bisa menyebabkan munculnya penyakit tertentu yang dihantarkan lewat makanan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menganjurkan untuk mengganti paradigma lama "4 sehat 5 sempurna" yang menekankan konsumsi susu sebagai penyempurna menu makanan sehari-hari.
Sebagai gantinya, menu gizi seimbang di kalangan anak sekolah adalah berupa konsumsi berbagai jenis makanan bergizi dari sumber bahan pangan lokal seperti buah, sayur, ikan, tempe, dan telur.
Hal ini pun sudah dimuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang.
Dalam Permenkes tersebut disebutkan, susu masuk dalam kategori "Lauk pauk sumber protein" bersama ikan, telur, unggas, daging, dan kacang-kacangan serta hasil olahannya (tahu da tempe).
Dalam daftar pangan sumber protein hewani, satu porsi ikan segar setara dengan 1 gelas susu sapi atau 4 sendok makan tepung susu.
Protein hewani dan nabati perlu dikonsumsi bersama kelompok pangan lainnya, agar jumlah dan kualitas zat gizi yang dikonsumsi mencapai gizi seimbang yang direkomendasikan, dengan porsi protein 25 persen dari porsi makanan sehari-hari.
"Pilihan sumber protein hewani yang lebih baik dibanding susu adalah telur, daging, ikan, dilengkapi dengan sumber protein nabati dari kacang-kacangan," tulis GKIA dalam rilisnya.
Baca juga: Seri Baru Jadi Ortu: Muntah dan Gumoh, Apa Bedanya?
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 75 tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan bagi Bangsa Indonesia, kebutuhan zat gizi anak usia 1-18 tahun untuk karbohidrat adalah 150-370 gram, protein 25-70 gram, serta kalsium 650-1200 mg.
Sementara dalam segelas susu (240 mL) terkandung zat gizi karbohidrat 11 gram, protein 8 gram, kalsium 276 mg (Grosvenor, 2010).
Diperlukan banyak bahan pangan yang bervariasi secara seimbang untuk mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan anak untuk tumbuh berkembang secara optimal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.