Bila ukuran satelit kian mengecil dan roket makin bisa digunakan berulang–ulang yang berujung pada kian murahnya biaya mengirim muatan ke langit, tidak demikian halnya dengan penerbangan antariksa berawak.
Dimensi tubuh manusia dan kebutuhan akan sistem penopang kehidupan, mulai dari udara, makanan, minuman serta kebutuhan proteksi radiasi dan lingkungan antariksa membuat upaya manusia pergi ke langit tak pernah murah.
Sebab kebutuhan–kebutuhan tersebut tidak bisa diperkecil. Apalagi jika hendak kembali mendarat dan menjelajahi Bulan, maka ongkosnya tetap saja melangit.
Maka, untuk apa kita ingin mendarat kembali ke Bulan (jika ongkosnya tetap mahal)?
Kepentingan politik dan prestise negara tetap menjadi salah satu landasannya. Presiden Donald Trump telah memerintahkan NASA segera menyusun rencana mendaratkan astronot kembali di Bulan di bawah payung Program Artemis. Tenggat waktu yang ditetapkan secepat–cepatnya mulai 2024 mendatang.
Namun berbeda dengan Program Apollo, astronot yang bakal mendarat di Bulan akan singgah lebih dulu di stasiun antariksa internasional baru yang bakal mengorbit Bulan dan akan dibangun mulai tahun 2022. Dari stasiun persinggahan inilah, yang disebut LOP–G (Lunar Orbital Platform – Gateway), astronot selanjutnya bakal mendarat di Bulan.
Manufaktur penerbangan Lockheed Martin telah merancang kendaraan pendarat Bulan berdaya–pakai menengah yang bisa digunakan berulang–ulang hingga 10 kali. Kendaraan ini dapat memuat empat astronot dan satu ton logistik untuk eksplorasi di Bulan selama dua minggu sebelum kemudian kembali lagi ke LOP–G.
Di luar Amerika Serikat, Rusia dan China juga telah menunjukkan ketertarikannya dalam mengirim manusia ke Bulan. Namun seperti halnya Amerika Serikat, mereka pun enggan sendirian dan menghendaki kerjasama internasional, dan juga tidak ingin terburu–buru dengan tenggat waktu.
Rusia telah menyiapkan misi Luna–Glob, tetapi kemungkinan baru akan mengirimkan kosmonotnya ke Bulan pada dasawarsa 2030–an.
China pun senada. Di bawah payung Program Chang'e, negeri tirai bambu ini siap mendaratkan taikonotnya di Bulan pada dasawarsa 2030–an pula. Lokasi pendaratan pun telah ditetapkan di kawasan kutub selatan Bulan, bagian Bulan yang diketahui menyimpan deposit air berbentuk padat dan tersinari cahaya Matahari sepanjang waktu.
Selain program pendaratan manusia kembali ke Bulan, negara–negara tersebut juga mengagendakan program penerbangan orbital berawak ke Bulan, terutama mengirim astronot/kosmonot untuk terbang lintas mengelilingi Bulan sekali (fly–by) dengan wantariksa tertentu.
Di sini, mereka lebih spesifik menetapkan tenggat waktu. Amerika Serikat berencana mengorbitkan astronotnya melalui misi Artemis 2 (bagian dari Program Artemis) pada Juni 2022 kelak dengan dorongan roket raksasa SLS–1 yang sedang dibangun.
Artemis 2 akan disusul dengan Artemis 3 pada 2024, sebagai langkah awal guna membangun stasiun antariksa internasional LOP–G.
Rusia juga berencana menempatkan kosmonotnya di orbit pada 2025 kelak menggunakan wantariksa Federation yang sedang dibangun.
Di luar aktor negara yang kental dengan kepentingan politiknya, unsur swasta juga mulai berkecimpung dalam upaya sejenis dengan landasan yang sangat berbeda.
Alasan utamanya adalah kepentingan ekonomi, yakni memperoleh pendapatan dari hasrat umat manusia menjelajah menggapai langit dan menyaksikan benda langit tetangga kita dari jarak lebih dekat. Inilah bagian dari turisme antariksa yang mulai tumbuh dan berkembang di dasawarsa kedua abad ke–21.
Paling menonjol adalah upaya SpaceX dengan Program #DearMoon menggunakan wantariksa Starship yang bakal didorong ke langit oleh roket raksasa BFR. #DearMoon juga bersifat terbang lintas Bulan yang bisa mengangkut 8 hingga 11 astronot swasta untuk misi antariksa berdurasi seminggu. #DearMoon bakal mengangkasa secepat–cepatnya tahun 2023.
Selain SpaceX, beberapa startup antariksa yang bertumbuhan juga menawarkan program penerbangan antariksa komersial ke Bulan, mulai dari sekedar terbang lintas hingga pendaratan manusia di Bulan.
Sebagai contoh adalah Space Adventures, startup asal Amerika Serikat yang berdiri sejak 1998 dan telah berpengalaman mengirimkan tujuh astronot swasta ke stasiun antariksa internasional ISS dalam kurun 2001–2009 lewat kerja samanya dengan Rusia.
Space Adventures menawarkan turisme Bulan sebagai misi antariksa berdurasi 8 hingga 9 hari yang akan memberikan kesempatan terbang lintas Bulan hingga sedekat 100 kilometer saja dari paras sang candra.
Ada pula Golden Spike Company, juga dari Amerika Serikat yang berdiri sejak 2010. Mereka bahkan lebih ambisius lagi dengan menawarkan program pendaratan manusia di Bulan.
Keterlibatan pihak swasta dalam program eksplorasi Bulan membuat kita dapat mengetahui seberapa besar ongkos yang harus dibayar.
Untuk sekali terbang lintas Bulan, Space Adventures menjual tiket seharga 150 juta dollar AS. Sedangkan guna berjalan–jalan di permukaan Bulan, Golden Spike menyodorkan biaya 750 juta dollar AS di luar 8 miliar dollar AS yang harus dicari sendiri oleh startup tersebut guna mengembangkan proyeknya.
Angka–angka ini jauh lebih murah ketimbang kocek yang harus dirogoh pemerintah Amerika Serikat dalam Program Apollo setengah abad silam, sehingga sejumlah kalangan menganggapnya tak realistis.
Namun startup–startup itu beralasan mereka bersandar pada ketersediaan perangkat keras (roket, sistem pelatihan dan sistem komunikasi) yang ada saat ini ketimbang membangun yang baru.
Mereka juga berpedoman pada efisiensi a–la Russia, yang tetap setia kepada desain roket dan wantariksa warisan Uni Soviet dalam kurun setengah abad terakhir, sehingga praktis menekan biaya pengembangan seminimal mungkin.
Space Adventures bahkan bakal memanfaatkan dua wantariksa Soyuz (Russia), satu wantariksa berawak dan satunya lagi tidak, yang bakal digabung menjadi satu kala sudah berada di orbit rendah Bumi.
Situasi ini sangat berbeda dibanding yang dihadapi Program Apollo setengah abad silam, kala semua yang dibutuhkannya tidak tersedia sehingga harus dibuat sendiri.
Pada akhirnya, pertanyaan untuk apa kita hendak kembali ke Bulan tak semata untuk kebanggaan negara ataupun memuaskan hasrat penjelajahan yang ada dalam kode genetik tubuh kita.
Bulan mengandung mineral bahan tambang berharga seperti Helium–3 yang tak dijumpai di Bumi. Helium–3 merupakan salah satu komponen bahan bakar bagi reaksi fusi termonuklir, salah satu sumber energi masa depan yang ramah lingkungan dan memiliki kepadatan energi sangat tinggi.
Demikian langkanya Helium–3 di Bumi sehingga ia 120 kali lebih mahal ketimbang emas, untuk berat yang sama.
Bulan juga menyediakan tempat ideal apabila kelak manusia hendak menjelajah lebih jauh ke antariksa, misalnya ke Mars. Sang candra menyediakan air dan sumber energi berlimpah yang bisa diolah menjadi bahan bakar roket masadepan guna ke Mars.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.