Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Untuk Apa Manusia Mendarat (Kembali) ke Bulan?

21 JULI 2019 lalu kita menyongsong setengah abad pendaratan manusia di Bulan dalam dunia yang sudah berubah dan respons yang campur–aduk.

Sebagian kita terkagum–kagum oleh pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi tulang punggungnya, yang dalam beberapa hal terlalu primitif untuk ukuran masa kini.

Misalnya, sistem komputer yang bertumpu pada prosesor selambat siput jika dibandingkan gawai–gawai pintar yang kita miliki. Pun kameranya, yang jauh lebih berat dan kompleks dibanding kamera berkeping elektronik masa kini.

Sebaliknya sebagian mencibir, menganggapnya sekedar konspirasi. Pun di Indonesia, negeri yang baru saja melewati tahap demi tahap pemilihan umum 2019, kegiatan elektoral tingkat nasional yang penuh dengan gelimang hoaks.

Cacat fotografi di Bulan, radiasi di sabuk van–Allen hingga kenapa tiada lagi astronot yang mendarat di sana meski sudah berlalu setengah abad lamanya kembali diperbincangkan.

Kita jarang sekali mencoba menarik benang merah antara program pendaratan manusia di Bulan dengan dinamika Perang Dingin. Padahal tanpa berkecamuknya Perang Dingin, peristiwa pendaratan manusia di Bulan boleh jadi takkan terjadi hingga masa kini.

Perang Dingin merupakan perang urat syaraf modern yang mengharu–biru umat manusia sejak usainya Perang Dunia II hingga empat dasawarsa kemudian kemudian. Itulah rentang masa tatkala dunia seakan terpolarisasi pada dua kekuatan adikuasa, yaitu blok kapitalis di bawah pimpinan Amerika Serikat atau blok komunis yang digawangi Uni Soviet.

Itulah pula rentang masa manakala aneka perseteruan bersenjata berlabel proxy war di antara kedua blok meletus, mulai dari perang Korea, perang Arab-Israel yang berbabak–babak, perang Vietnam, perang sipil Kamboja hingga transisi Orde Lama menuju Orde Baru yang berkuah darah di Indonesia.

Perang dingin juga menjadi masa kala perlombaan senjata didorong jauh menjangkau titik paling ekstrem.

Generasi kakek–nenek dan kedua orangtua kita menjadi saksi mata betapa kapal–kapal perang menjadi kian tambun yang berdaya gempur kian jauh, langit yang kian riuh oleh lesatan aneka pesawat tempur dan pengebom era jet dan pembangunan senjata–senjata mutakhir berkekuatan dahsyat menggentarkan seperti senjata nuklir.

Dan perlombaan antariksa dimana pendaratan manusia di Bulan termasuk di dalamnya, adalah turunan langsung dari perlombaan senjata.

Program Apollo

Kala John F Kennedy menduduki takhta kepresidenan Amerika Serikat, adikuasa itu nyaris sepenuhnya tertinggal dalam penguasaan penerbangan antariksa dibandingkan Uni Soviet.

Tirai besi itu unggul dalam segala hal. Mereka lebih dulu meluncurkan satelit buatan pertama (Sputnik–1), lebih dulu meluncurkan makhluk hidup pertama (anjing Laika), mengorbitkan manusia pertama ke langit (Yuri Gagarin) dan bahkan menempatkan perempuan pertama ke orbit (Valentina Tereshkova).

Kelak mereka pun unggul dalam melakukan perjalanan antariksa pertama (Alexei Leonov), mengirimkan wantariksa (wahana antariksa) pendarat pertama ke Bulan dengan selamat (Luna–9) dan mengirim wantariksa pengorbit Bulan yang bekerja baik (Luna–10).

Sebaliknya, Amerika Serikat terseok–seok dan hanya unggul dalam hal pembuatan foto Bumi pertama dari langit (Explorer 6) serta peluncuran teleskop landas–antariksa pertama (Orbital Solar Observatory).

Kennedy juga melihat Amerika Serikat tertinggal dalam kancah penguasaan rudal balistik antarbenua (ICBM/inter continental ballistic missile), jenis senjata baru berhulu ledak nuklir berkekuatan menggentarkan.

Analisis badan–badan intelejen menunjukkan, hingga tahun 1963 Uni Soviet akan memiliki 1.500 butir ICBM, jauh melampaui Amerika Serikat yang diperkirakan baru akan sanggup membangun 130 ICBM saja.

Dan Soviet telah mendemonstrasikan betapa menakutkannya potensi rudal antar benua–nya dalam menghantam sasaran sejauh 13.000 kilometer. Bahkan, Soviet bereksperimen lebih lanjut dengan memodifikasinya sebagai kuda beban pendorong Sputnik–1 dan wantariksa berikutnya ke orbit.

Keunggulan jumlah dan teknologi rudal balistik antarbenua tak sekedar mendemonstrasikan superioritas Soviet. Itu juga menciptakan ketidakseimbangan kekuatan militer, yang secara langsung mengancam kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya.

Perasaan inferior itu tak hanya menjangkiti pucuk pimpinan Amerika Serikat, namun juga meluas hingga ke lapisan–lapisan masyarakat. Dan Kennedy ingin membalikkan situasi itu.

Pertimbangan strategis politik dan militer itulah yang menjadi landasan Kennedy dalam menetapkan program pendaratan manusia di Bulan sebagai salah satu tujuan nasional Amerika Serikat yang baru. Manusia harus mendarat di Bulan dan kembali lagi ke Bumi dengan selamat sebelum dekade 1960–an berakhir.

Begitu nekatnya, berapapun biayanya. Program penerbangan antariksa Amerika Serikat pun bertransformasi dari sekedar upaya ala kadarnya yang dibumbui persaingan antar angkatan dalam tubuh militer menjadi sebuah usaha tersistematis dan massif di bawah administrasi sipil baru bernama NASA dengan tujuan sangat jelas: Bulan.

Tembakan senapan runduk menutup usia Kennedy secara tragis di jalanan kota Dallas, Texas, pada 22 November 1963. Namun, bangunan dasar penerbangan antariksa Amerika Serikat tak berubah meski presiden silih berganti.

Lewat Program Ranger (1961–1965) yang setengah babak–belur, Amerika Serikat mendapatkan pelajaran berharga dalam mengorganisasi pengiriman wantariksa tak berawak ke Bulan. Program Surveyor (1966–1968) menumbuhkan dan melipatgandakan rasa percaya diri, di mana wantariksa tak hanya sekedar memotret namun juga memetakan sebagian wajah Bulan secara sistematis.

Baik Program Ranger maupun Program Surveyor meletakkan anak–anak tangga yang dibutuhkan dalam Program Apollo, payung bagi pendaratan manusia Amerika Serikat di Bulan.

Neil Armstrong dan Edwin Aldrin memang menjadi dua orang pertama yang menapakkan kaki di Bulan. Akan tetapi, tak hanya mereka saja yang pernah berkeliaran di wajah sang candra.

Secara keseluruhan terdapat 12 orang yang pernah mendarat dan mengeksplorasi Bulan. Empat di antaranya masih hidup hingga saat ini, yakni Edwin Aldrin (Apollo 11), David Scott (Apollo 15), Charles Duke (Apollo 16) dan Harrison Schmitt (Apollo 16).

Lalu, ada dua belas orang pula yang pernah meninggalkan orbit Bumi guna mengorbit sang candra, dengan empat di antaranya telah berpulang.

Di balik langkah–langkah ke–24 orang tersebut, terhampar upaya pengerahan sumber daya manusia dan finansial dalam skala raksasa yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan belum pernah terulang lagi hingga masa kini.

Sempat terbelalak menatap usulan anggaran senilai hampir 90 miliar dollar AS (berdasarkan nilai mata uang 2018) diajukan ke meja kerjanya di Gedung Putih, Kennedy lantas menandatanganinya tanpa banyak cingcong.

Kelak anggaran program pendaratan manusia di Bulan membengkak hingga 158 miliar dollar AS. Itu belum terhitung anggaran Program Ranger (1 miliar dollar AS) dan Program Surveyor (3 miliar dollar AS).

Jika dirupiahkan, anggaran Program Apollo setara dengan Rp 2.200 triliun (berdasarkan kurs 2018), sehingga ongkos tiket setiap astronot yang terbang ke Bulan saat itu mencapai Rp 91 triliun.

Selain dana luar biasa besar, Amerika Serikat juga mengerahkan sumber daya manusia terbaiknya dalam skala yang belum pernah ada. Pada puncaknya, Program Apollo mempekerjakan 400.000 orang yang melibatkan 20.000 firma industri dan universitas di segenap penjuru.

Di bawah pimpinan Wernher von Braun, pionir peroketan kelahiran Jerman yang bermigrasi ke Amerika Serikat di akhir era Perang Dunia II, semua itu ditujukan membangun roket Saturnus 5 sebagai kuda beban penerbangan dan pendaratan manusia di Bulan beserta sistem komunikasi jarak jauh antara Bumi dan Bulan.

Sebagai roket bertingkat tiga yang menjulang setinggi 111 meter dan bobot 2.900 ton, Saturnus 5 adalah roket terbesar yang pernah dibuat umat manusia hingga masa kini.

Dengan kapasitas angkut 45 ton ke orbit Bulan, Saturnus 5 dapat membawa gabungan modul komando, modul Bulan dan modul layanan dengan mudah. Daya dorong sebesar 3.600 ton timbul kala kelima mesin roket jumbo di tingkat pertamanya dinyalakan, yang mengonsumsi tak kurang dari 12,5 ton campuran bahan bakar dan pengoksid per detik.

Daya dorong yang luar biasa itu membuat sensor–sensor gempa bumi di segenap daratan Amerika Serikat riuh bergetar manakala roket raksasa ini mulai meluncur dari landasan Tanjung Canaveral, Florida.

Untuk setiap peluncuran ini dibutuhkan dana sebesar US $ 1,16 milyar.

Akan tetapi, segenap upaya berskala raksasa itu terbayarkan. Amerika Serikat mengungguli Uni Soviet dalam kancah eksplorasi manusia di Bulan tanpa tanding.

Meski menampakkan kesan enggan berkompetisi, sesungguhnya Uni Soviet diam–diam juga berupaya mendaratkan manusia di Bulan. Lewat dekrit Nikita Khruschev pada 1964, negeri beruang merah itu memasang tahun 1967 sebagai tenggat waktu pendaratan kosmonotnya di Bulan. Tenggat itu lalu direvisi mundur setahun menjadi 1968.

Namun dana yang terbatas, desain bangunan roket yang sangat kompleks, berpulangnya sang maestro Sergei Korolev (yang sekualitas von Braun) secara mendadak pada awal tahun 1966 dan gagalnya uji coba penerbangan roket Bulannya secara berturut–turut membuat kosmonot Soviet tetap berkutat di titik nol. Tak pernah berhasil pergi ke Bulan.

Salah satu kegagalan yang menyesakkan terjadi hanya dua minggu jelang penerbangan trio Armstrong – Aldrin – Collins ke Bulan.

Roket N–1, raksasa bertingkat 5 setinggi 105 meter dan berbobot 2.750 ton yang dirancang bakal menjadi kuda beban Soviet ke Bulan, gagal mengangkasa kala 29 mesin roket tingkat pertamanya mati mendadak. Hanya tersisa sebuah mesin saja yang berfungsi normal.

Akibatnya roket terbesar kedua sedunia itu pun jatuh kembali mencium Bumi, meledak dan terbakar hebat selama berjam–jam kemudian hingga menghancurkan landasannya.

Bencana ini menandai satu dari empat kegagalan uji coba terbang roket N–1 selama kurun 1969–1972.

Setelah menyaksikan 12 astronot Amerika Serikat sukses mengeksplorasi Bulan, akhirnya Leonid Brezhnev sang supremo Soviet pasca Nikita memutuskan lempar handuk. Pada tahun 1974, ia menghentikan segenap upaya negara beruang merah itu untuk mengirim kosmonotnya ke Bulan.

Dunia baru mengetahui semua cerita ini berbelas tahun kemudian, manakala Perang Dingin sudah berakhir dan Uni Soviet tepat di pintu keruntuhan.

Turisme Bulan

Sebagai keputusan politis, fokus pendaratan manusia di Bulan setengah abad silam sejatinya lebih ke arah selfie tingkat tinggi. Bagaimana menegakkan dan memotret bendera Amerika Serikat di Bulan. Lalu bagaimana mengabadikan sosok–sosok dan aktivitas para astronot di permukaan tanah Bulan yang sehalus bedak. Semuanya bertujuan mempertontonkan superioritas Amerika Serikat dalam perlombaan antariksa kepada dunia.

Di tengah atmosfer seperti itu, NASA dengan jenial berhasil menyelipkan unsur ilmiah untuk Program Apollo, sehingga para astronot mendapat tugas memasang seismometer (sensor deteksi gelombang gempa), pengukur gradien panas bawah tanah Bulan, penjejak sinar kosmik, pengukur medan magnet dan cermin pemantul laser serta memunguti sampel batuan dan tanah Bulan.

Alat–alat tersebut memproduksi data–data yang sangat melimpah. Bersama dengan tambahan 382 kilogram batu dan tanah Bulan yang dibawa pulang ke Bumi, mereka membentuk pengetahuan terkini kita tentang Bulan.

Pengetahuan yang diperoleh dalam satu dasawarsa pertama penerbangan antariksa ke Bulan, termasuk Program Apollo, jauh berlipat ganda dibanding yang telah diperoleh dalam kurun empat abad terakhir manakala manusia mulai mengamati Bulan menggunakan teleskop.

Luar biasanya, hingga kini cermin pemantul laser warisan Program Apollo masih tetap digunakan dalam sejumlah eksperimen rentang laser Bulan yang bertujuan utama memperoleh jarak Bumi-Bulan pada ketelitian sangat tinggi, serta mengetahui sejumlah karakter fisis Bulan dan konstanta alam semesta.

Hingga kini pula, meski era penerbangan antariksa telah berevolusi demikian maju, belum ada satu pun yang bisa mendaratkan seismometer dan pengukur gradien panas bawah tanah benda langit lain di luar Bumi, kecuali dalam misi wantariksa tak berawak Mars Insight yang sejauh ini separuh sukses (hanya seismometer yang berfungsi).

Di atas semua itu, program pendaratan manusia di Bulan menciptakan euforia, prestise dan prestasi baru dalam sejarah umat manusia sepanjang peradaban.

Sebagai spesies penjelajah, program penerbangan dan pendaratan manusia di Bulan telah memberikan tapal batas baru bagi penjelajahan umat manusia. Menjadi salah satu tonggak sejarah bersama dengan penjelajahan samudera di abad pertengahan dan persebaran umat manusia sendiri ke segenap penjuru Bumi dengan keluar dari Afrika (Out of Africa) di awal peradaban.

Kini, setengah abad kemudian, masihkah manusia butuh mendarat (kembali) di Bulan?

Dunia telah banyak berubah dalam setengah abad terakhir. Perang dingin telah usai sedasawarsa jelang pergantian millenium. Amerika Serikat dan sekutu kapitalisnya keluar sebagai pemenang dan dunia pun menjadi unipolar.

Namun demikian, kekuatannya kian tererosi.

Rusia, sebagai pewaris langsung Uni Soviet, kian menanjak pamornya dalam satu dasawarsa terakhir dan kembali memainkan peranan pentingnya di kancah geopolitik Eropa, Asia dan Afrika. Sementara itu, China mulai meninggi di langit menapaki lintasan menuju calon adikuasa baru. India pun sedang bersemi di cakrawala, siap menyusul langkah–langkah China.

Penerbangan antariksa pun mengalami banyak perubahan, yang kini dikenal sebagai era Penerbangan Antariksa 2.0.

Kini, sisi komersialnya makin menonjol ketimbang kepentingan strategis militer. Satelit–satelit komunikasi komersial kian banyak dipesan dan dliluncurkan ke orbit, baik untuk kepentingan pemerintah maupun swasta. Revolusi teknologi elektronika dan informatika menciptakan ceruk baru : generasi satelit mini dan mikro.

Kini, satelit tak hanya melulu dimiliki institusi–institusi raksasa dengan sumber daya finansial melimpah, namun negara–negara kecil hingga perguruan tinggi yang beranggaran pas–pasan pun sanggup membuat dan mengoperasikan satelit mini dan mikro.

Revolusi berikutnya yang siap menyusul adalah roket ulang–alik berdaya pakai tinggi.

SpaceX menjadi pelopor di bidang ini dan telah memasuki pasaran komersial lewat roket Falcon 9 FT (Full Thrust)–nya yang bisa dipakai berulang–ulang, khususnya di tingkat pertama. Tiap kali usai mendorong muatan (beserta roket tingkat dua–nya) hingga ketinggian tertentu, tingkat pertama Falcon 9 FT akan kembali ke Bumi dan mendarat vertikal secara otomatis di landasan.

Prinsip serupa juga dipedomani Blue Origin dengan roket New Shepard/New Glenn meski masih bersifat prototip. Praktis dalam setiap penerbangan roket Falcon 9 FT maupun New Shepard/New Glenn, hanya roket tingkat dua saja yang bersifat sekali–pakai.

Di luar Amerika Serikat, India telah menapaki jalan serupa dengan uji terbang RLV–TD (Reusable Launch Vehicle – Technology Demonstrator) yang sukses.

Bila ukuran satelit kian mengecil dan roket makin bisa digunakan berulang–ulang yang berujung pada kian murahnya biaya mengirim muatan ke langit, tidak demikian halnya dengan penerbangan antariksa berawak.

Dimensi tubuh manusia dan kebutuhan akan sistem penopang kehidupan, mulai dari udara, makanan, minuman serta kebutuhan proteksi radiasi dan lingkungan antariksa membuat upaya manusia pergi ke langit tak pernah murah.

Sebab kebutuhan–kebutuhan tersebut tidak bisa diperkecil. Apalagi jika hendak kembali mendarat dan menjelajahi Bulan, maka ongkosnya tetap saja melangit.

Maka, untuk apa kita ingin mendarat kembali ke Bulan (jika ongkosnya tetap mahal)?

Kepentingan politik dan prestise negara tetap menjadi salah satu landasannya. Presiden Donald Trump telah memerintahkan NASA segera menyusun rencana mendaratkan astronot kembali di Bulan di bawah payung Program Artemis. Tenggat waktu yang ditetapkan secepat–cepatnya mulai 2024 mendatang.

Namun berbeda dengan Program Apollo, astronot yang bakal mendarat di Bulan akan singgah lebih dulu di stasiun antariksa internasional baru yang bakal mengorbit Bulan dan akan dibangun mulai tahun 2022. Dari stasiun persinggahan inilah, yang disebut LOP–G (Lunar Orbital Platform – Gateway), astronot selanjutnya bakal mendarat di Bulan.

Manufaktur penerbangan Lockheed Martin telah merancang kendaraan pendarat Bulan berdaya–pakai menengah yang bisa digunakan berulang–ulang hingga 10 kali. Kendaraan ini dapat memuat empat astronot dan satu ton logistik untuk eksplorasi di Bulan selama dua minggu sebelum kemudian kembali lagi ke LOP–G.

Di luar Amerika Serikat, Rusia dan China juga telah menunjukkan ketertarikannya dalam mengirim manusia ke Bulan. Namun seperti halnya Amerika Serikat, mereka pun enggan sendirian dan menghendaki kerjasama internasional, dan juga tidak ingin terburu–buru dengan tenggat waktu.

Rusia telah menyiapkan misi Luna–Glob, tetapi kemungkinan baru akan mengirimkan kosmonotnya ke Bulan pada dasawarsa 2030–an.

China pun senada. Di bawah payung Program Chang'e, negeri tirai bambu ini siap mendaratkan taikonotnya di Bulan pada dasawarsa 2030–an pula. Lokasi pendaratan pun telah ditetapkan di kawasan kutub selatan Bulan, bagian Bulan yang diketahui menyimpan deposit air berbentuk padat dan tersinari cahaya Matahari sepanjang waktu.

Selain program pendaratan manusia kembali ke Bulan, negara–negara tersebut juga mengagendakan program penerbangan orbital berawak ke Bulan, terutama mengirim astronot/kosmonot untuk terbang lintas mengelilingi Bulan sekali (fly–by) dengan wantariksa tertentu.

Di sini, mereka lebih spesifik menetapkan tenggat waktu. Amerika Serikat berencana mengorbitkan astronotnya melalui misi Artemis 2 (bagian dari Program Artemis) pada Juni 2022 kelak dengan dorongan roket raksasa SLS–1 yang sedang dibangun.

Artemis 2 akan disusul dengan Artemis 3 pada 2024, sebagai langkah awal guna membangun stasiun antariksa internasional LOP–G.

Rusia juga berencana menempatkan kosmonotnya di orbit pada 2025 kelak menggunakan wantariksa Federation yang sedang dibangun.

Di luar aktor negara yang kental dengan kepentingan politiknya, unsur swasta juga mulai berkecimpung dalam upaya sejenis dengan landasan yang sangat berbeda.

Alasan utamanya adalah kepentingan ekonomi, yakni memperoleh pendapatan dari hasrat umat manusia menjelajah menggapai langit dan menyaksikan benda langit tetangga kita dari jarak lebih dekat. Inilah bagian dari turisme antariksa yang mulai tumbuh dan berkembang di dasawarsa kedua abad ke–21.

Paling menonjol adalah upaya SpaceX dengan Program #DearMoon menggunakan wantariksa Starship yang bakal didorong ke langit oleh roket raksasa BFR. #DearMoon juga bersifat terbang lintas Bulan yang bisa mengangkut 8 hingga 11 astronot swasta untuk misi antariksa berdurasi seminggu. #DearMoon bakal mengangkasa secepat–cepatnya tahun 2023.

Selain SpaceX, beberapa startup antariksa yang bertumbuhan juga menawarkan program penerbangan antariksa komersial ke Bulan, mulai dari sekedar terbang lintas hingga pendaratan manusia di Bulan.

Sebagai contoh adalah Space Adventures, startup asal Amerika Serikat yang berdiri sejak 1998 dan telah berpengalaman mengirimkan tujuh astronot swasta ke stasiun antariksa internasional ISS dalam kurun 2001–2009 lewat kerja samanya dengan Rusia.

Space Adventures menawarkan turisme Bulan sebagai misi antariksa berdurasi 8 hingga 9 hari yang akan memberikan kesempatan terbang lintas Bulan hingga sedekat 100 kilometer saja dari paras sang candra.

Ada pula Golden Spike Company, juga dari Amerika Serikat yang berdiri sejak 2010. Mereka bahkan lebih ambisius lagi dengan menawarkan program pendaratan manusia di Bulan.

Keterlibatan pihak swasta dalam program eksplorasi Bulan membuat kita dapat mengetahui seberapa besar ongkos yang harus dibayar.

Untuk sekali terbang lintas Bulan, Space Adventures menjual tiket seharga 150 juta dollar AS. Sedangkan guna berjalan–jalan di permukaan Bulan, Golden Spike menyodorkan biaya 750 juta dollar AS di luar 8 miliar dollar AS yang harus dicari sendiri oleh startup tersebut guna mengembangkan proyeknya.

Angka–angka ini jauh lebih murah ketimbang kocek yang harus dirogoh pemerintah Amerika Serikat dalam Program Apollo setengah abad silam, sehingga sejumlah kalangan menganggapnya tak realistis.

Namun startup–startup itu beralasan mereka bersandar pada ketersediaan perangkat keras (roket, sistem pelatihan dan sistem komunikasi) yang ada saat ini ketimbang membangun yang baru.

Mereka juga berpedoman pada efisiensi a–la Russia, yang tetap setia kepada desain roket dan wantariksa warisan Uni Soviet dalam kurun setengah abad terakhir, sehingga praktis menekan biaya pengembangan seminimal mungkin.

Space Adventures bahkan bakal memanfaatkan dua wantariksa Soyuz (Russia), satu wantariksa berawak dan satunya lagi tidak, yang bakal digabung menjadi satu kala sudah berada di orbit rendah Bumi.

Situasi ini sangat berbeda dibanding yang dihadapi Program Apollo setengah abad silam, kala semua yang dibutuhkannya tidak tersedia sehingga harus dibuat sendiri.

Pada akhirnya, pertanyaan untuk apa kita hendak kembali ke Bulan tak semata untuk kebanggaan negara ataupun memuaskan hasrat penjelajahan yang ada dalam kode genetik tubuh kita.

Bulan mengandung mineral bahan tambang berharga seperti Helium–3 yang tak dijumpai di Bumi. Helium–3 merupakan salah satu komponen bahan bakar bagi reaksi fusi termonuklir, salah satu sumber energi masa depan yang ramah lingkungan dan memiliki kepadatan energi sangat tinggi.

Demikian langkanya Helium–3 di Bumi sehingga ia 120 kali lebih mahal ketimbang emas, untuk berat yang sama.

Bulan juga menyediakan tempat ideal apabila kelak manusia hendak menjelajah lebih jauh ke antariksa, misalnya ke Mars. Sang candra menyediakan air dan sumber energi berlimpah yang bisa diolah menjadi bahan bakar roket masadepan guna ke Mars.

https://sains.kompas.com/read/2019/07/30/200600423/untuk-apa-manusia-mendarat-kembali-ke-bulan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke