Di bawah pimpinan Wernher von Braun, pionir peroketan kelahiran Jerman yang bermigrasi ke Amerika Serikat di akhir era Perang Dunia II, semua itu ditujukan membangun roket Saturnus 5 sebagai kuda beban penerbangan dan pendaratan manusia di Bulan beserta sistem komunikasi jarak jauh antara Bumi dan Bulan.
Sebagai roket bertingkat tiga yang menjulang setinggi 111 meter dan bobot 2.900 ton, Saturnus 5 adalah roket terbesar yang pernah dibuat umat manusia hingga masa kini.
Dengan kapasitas angkut 45 ton ke orbit Bulan, Saturnus 5 dapat membawa gabungan modul komando, modul Bulan dan modul layanan dengan mudah. Daya dorong sebesar 3.600 ton timbul kala kelima mesin roket jumbo di tingkat pertamanya dinyalakan, yang mengonsumsi tak kurang dari 12,5 ton campuran bahan bakar dan pengoksid per detik.
Daya dorong yang luar biasa itu membuat sensor–sensor gempa bumi di segenap daratan Amerika Serikat riuh bergetar manakala roket raksasa ini mulai meluncur dari landasan Tanjung Canaveral, Florida.
Untuk setiap peluncuran ini dibutuhkan dana sebesar US $ 1,16 milyar.
Akan tetapi, segenap upaya berskala raksasa itu terbayarkan. Amerika Serikat mengungguli Uni Soviet dalam kancah eksplorasi manusia di Bulan tanpa tanding.
Meski menampakkan kesan enggan berkompetisi, sesungguhnya Uni Soviet diam–diam juga berupaya mendaratkan manusia di Bulan. Lewat dekrit Nikita Khruschev pada 1964, negeri beruang merah itu memasang tahun 1967 sebagai tenggat waktu pendaratan kosmonotnya di Bulan. Tenggat itu lalu direvisi mundur setahun menjadi 1968.
Namun dana yang terbatas, desain bangunan roket yang sangat kompleks, berpulangnya sang maestro Sergei Korolev (yang sekualitas von Braun) secara mendadak pada awal tahun 1966 dan gagalnya uji coba penerbangan roket Bulannya secara berturut–turut membuat kosmonot Soviet tetap berkutat di titik nol. Tak pernah berhasil pergi ke Bulan.
Salah satu kegagalan yang menyesakkan terjadi hanya dua minggu jelang penerbangan trio Armstrong – Aldrin – Collins ke Bulan.
Roket N–1, raksasa bertingkat 5 setinggi 105 meter dan berbobot 2.750 ton yang dirancang bakal menjadi kuda beban Soviet ke Bulan, gagal mengangkasa kala 29 mesin roket tingkat pertamanya mati mendadak. Hanya tersisa sebuah mesin saja yang berfungsi normal.
Akibatnya roket terbesar kedua sedunia itu pun jatuh kembali mencium Bumi, meledak dan terbakar hebat selama berjam–jam kemudian hingga menghancurkan landasannya.
Bencana ini menandai satu dari empat kegagalan uji coba terbang roket N–1 selama kurun 1969–1972.
Setelah menyaksikan 12 astronot Amerika Serikat sukses mengeksplorasi Bulan, akhirnya Leonid Brezhnev sang supremo Soviet pasca Nikita memutuskan lempar handuk. Pada tahun 1974, ia menghentikan segenap upaya negara beruang merah itu untuk mengirim kosmonotnya ke Bulan.
Dunia baru mengetahui semua cerita ini berbelas tahun kemudian, manakala Perang Dingin sudah berakhir dan Uni Soviet tepat di pintu keruntuhan.
Sebagai keputusan politis, fokus pendaratan manusia di Bulan setengah abad silam sejatinya lebih ke arah selfie tingkat tinggi. Bagaimana menegakkan dan memotret bendera Amerika Serikat di Bulan. Lalu bagaimana mengabadikan sosok–sosok dan aktivitas para astronot di permukaan tanah Bulan yang sehalus bedak. Semuanya bertujuan mempertontonkan superioritas Amerika Serikat dalam perlombaan antariksa kepada dunia.
Di tengah atmosfer seperti itu, NASA dengan jenial berhasil menyelipkan unsur ilmiah untuk Program Apollo, sehingga para astronot mendapat tugas memasang seismometer (sensor deteksi gelombang gempa), pengukur gradien panas bawah tanah Bulan, penjejak sinar kosmik, pengukur medan magnet dan cermin pemantul laser serta memunguti sampel batuan dan tanah Bulan.
Alat–alat tersebut memproduksi data–data yang sangat melimpah. Bersama dengan tambahan 382 kilogram batu dan tanah Bulan yang dibawa pulang ke Bumi, mereka membentuk pengetahuan terkini kita tentang Bulan.
Pengetahuan yang diperoleh dalam satu dasawarsa pertama penerbangan antariksa ke Bulan, termasuk Program Apollo, jauh berlipat ganda dibanding yang telah diperoleh dalam kurun empat abad terakhir manakala manusia mulai mengamati Bulan menggunakan teleskop.
Luar biasanya, hingga kini cermin pemantul laser warisan Program Apollo masih tetap digunakan dalam sejumlah eksperimen rentang laser Bulan yang bertujuan utama memperoleh jarak Bumi-Bulan pada ketelitian sangat tinggi, serta mengetahui sejumlah karakter fisis Bulan dan konstanta alam semesta.
Hingga kini pula, meski era penerbangan antariksa telah berevolusi demikian maju, belum ada satu pun yang bisa mendaratkan seismometer dan pengukur gradien panas bawah tanah benda langit lain di luar Bumi, kecuali dalam misi wantariksa tak berawak Mars Insight yang sejauh ini separuh sukses (hanya seismometer yang berfungsi).
Di atas semua itu, program pendaratan manusia di Bulan menciptakan euforia, prestise dan prestasi baru dalam sejarah umat manusia sepanjang peradaban.
Sebagai spesies penjelajah, program penerbangan dan pendaratan manusia di Bulan telah memberikan tapal batas baru bagi penjelajahan umat manusia. Menjadi salah satu tonggak sejarah bersama dengan penjelajahan samudera di abad pertengahan dan persebaran umat manusia sendiri ke segenap penjuru Bumi dengan keluar dari Afrika (Out of Africa) di awal peradaban.
Kini, setengah abad kemudian, masihkah manusia butuh mendarat (kembali) di Bulan?
Dunia telah banyak berubah dalam setengah abad terakhir. Perang dingin telah usai sedasawarsa jelang pergantian millenium. Amerika Serikat dan sekutu kapitalisnya keluar sebagai pemenang dan dunia pun menjadi unipolar.
Namun demikian, kekuatannya kian tererosi.
Rusia, sebagai pewaris langsung Uni Soviet, kian menanjak pamornya dalam satu dasawarsa terakhir dan kembali memainkan peranan pentingnya di kancah geopolitik Eropa, Asia dan Afrika. Sementara itu, China mulai meninggi di langit menapaki lintasan menuju calon adikuasa baru. India pun sedang bersemi di cakrawala, siap menyusul langkah–langkah China.
Penerbangan antariksa pun mengalami banyak perubahan, yang kini dikenal sebagai era Penerbangan Antariksa 2.0.
Kini, sisi komersialnya makin menonjol ketimbang kepentingan strategis militer. Satelit–satelit komunikasi komersial kian banyak dipesan dan dliluncurkan ke orbit, baik untuk kepentingan pemerintah maupun swasta. Revolusi teknologi elektronika dan informatika menciptakan ceruk baru : generasi satelit mini dan mikro.
Kini, satelit tak hanya melulu dimiliki institusi–institusi raksasa dengan sumber daya finansial melimpah, namun negara–negara kecil hingga perguruan tinggi yang beranggaran pas–pasan pun sanggup membuat dan mengoperasikan satelit mini dan mikro.
Revolusi berikutnya yang siap menyusul adalah roket ulang–alik berdaya pakai tinggi.
SpaceX menjadi pelopor di bidang ini dan telah memasuki pasaran komersial lewat roket Falcon 9 FT (Full Thrust)–nya yang bisa dipakai berulang–ulang, khususnya di tingkat pertama. Tiap kali usai mendorong muatan (beserta roket tingkat dua–nya) hingga ketinggian tertentu, tingkat pertama Falcon 9 FT akan kembali ke Bumi dan mendarat vertikal secara otomatis di landasan.
Prinsip serupa juga dipedomani Blue Origin dengan roket New Shepard/New Glenn meski masih bersifat prototip. Praktis dalam setiap penerbangan roket Falcon 9 FT maupun New Shepard/New Glenn, hanya roket tingkat dua saja yang bersifat sekali–pakai.
Di luar Amerika Serikat, India telah menapaki jalan serupa dengan uji terbang RLV–TD (Reusable Launch Vehicle – Technology Demonstrator) yang sukses.