21 JULI 2019 lalu kita menyongsong setengah abad pendaratan manusia di Bulan dalam dunia yang sudah berubah dan respons yang campur–aduk.
Sebagian kita terkagum–kagum oleh pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi tulang punggungnya, yang dalam beberapa hal terlalu primitif untuk ukuran masa kini.
Misalnya, sistem komputer yang bertumpu pada prosesor selambat siput jika dibandingkan gawai–gawai pintar yang kita miliki. Pun kameranya, yang jauh lebih berat dan kompleks dibanding kamera berkeping elektronik masa kini.
Sebaliknya sebagian mencibir, menganggapnya sekedar konspirasi. Pun di Indonesia, negeri yang baru saja melewati tahap demi tahap pemilihan umum 2019, kegiatan elektoral tingkat nasional yang penuh dengan gelimang hoaks.
Cacat fotografi di Bulan, radiasi di sabuk van–Allen hingga kenapa tiada lagi astronot yang mendarat di sana meski sudah berlalu setengah abad lamanya kembali diperbincangkan.
Kita jarang sekali mencoba menarik benang merah antara program pendaratan manusia di Bulan dengan dinamika Perang Dingin. Padahal tanpa berkecamuknya Perang Dingin, peristiwa pendaratan manusia di Bulan boleh jadi takkan terjadi hingga masa kini.
Perang Dingin merupakan perang urat syaraf modern yang mengharu–biru umat manusia sejak usainya Perang Dunia II hingga empat dasawarsa kemudian kemudian. Itulah rentang masa tatkala dunia seakan terpolarisasi pada dua kekuatan adikuasa, yaitu blok kapitalis di bawah pimpinan Amerika Serikat atau blok komunis yang digawangi Uni Soviet.
Itulah pula rentang masa manakala aneka perseteruan bersenjata berlabel proxy war di antara kedua blok meletus, mulai dari perang Korea, perang Arab-Israel yang berbabak–babak, perang Vietnam, perang sipil Kamboja hingga transisi Orde Lama menuju Orde Baru yang berkuah darah di Indonesia.
Perang dingin juga menjadi masa kala perlombaan senjata didorong jauh menjangkau titik paling ekstrem.
Generasi kakek–nenek dan kedua orangtua kita menjadi saksi mata betapa kapal–kapal perang menjadi kian tambun yang berdaya gempur kian jauh, langit yang kian riuh oleh lesatan aneka pesawat tempur dan pengebom era jet dan pembangunan senjata–senjata mutakhir berkekuatan dahsyat menggentarkan seperti senjata nuklir.
Dan perlombaan antariksa dimana pendaratan manusia di Bulan termasuk di dalamnya, adalah turunan langsung dari perlombaan senjata.
Kala John F Kennedy menduduki takhta kepresidenan Amerika Serikat, adikuasa itu nyaris sepenuhnya tertinggal dalam penguasaan penerbangan antariksa dibandingkan Uni Soviet.
Tirai besi itu unggul dalam segala hal. Mereka lebih dulu meluncurkan satelit buatan pertama (Sputnik–1), lebih dulu meluncurkan makhluk hidup pertama (anjing Laika), mengorbitkan manusia pertama ke langit (Yuri Gagarin) dan bahkan menempatkan perempuan pertama ke orbit (Valentina Tereshkova).
Kelak mereka pun unggul dalam melakukan perjalanan antariksa pertama (Alexei Leonov), mengirimkan wantariksa (wahana antariksa) pendarat pertama ke Bulan dengan selamat (Luna–9) dan mengirim wantariksa pengorbit Bulan yang bekerja baik (Luna–10).
Sebaliknya, Amerika Serikat terseok–seok dan hanya unggul dalam hal pembuatan foto Bumi pertama dari langit (Explorer 6) serta peluncuran teleskop landas–antariksa pertama (Orbital Solar Observatory).
Kennedy juga melihat Amerika Serikat tertinggal dalam kancah penguasaan rudal balistik antarbenua (ICBM/inter continental ballistic missile), jenis senjata baru berhulu ledak nuklir berkekuatan menggentarkan.
Analisis badan–badan intelejen menunjukkan, hingga tahun 1963 Uni Soviet akan memiliki 1.500 butir ICBM, jauh melampaui Amerika Serikat yang diperkirakan baru akan sanggup membangun 130 ICBM saja.
Dan Soviet telah mendemonstrasikan betapa menakutkannya potensi rudal antar benua–nya dalam menghantam sasaran sejauh 13.000 kilometer. Bahkan, Soviet bereksperimen lebih lanjut dengan memodifikasinya sebagai kuda beban pendorong Sputnik–1 dan wantariksa berikutnya ke orbit.
Keunggulan jumlah dan teknologi rudal balistik antarbenua tak sekedar mendemonstrasikan superioritas Soviet. Itu juga menciptakan ketidakseimbangan kekuatan militer, yang secara langsung mengancam kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya.
Perasaan inferior itu tak hanya menjangkiti pucuk pimpinan Amerika Serikat, namun juga meluas hingga ke lapisan–lapisan masyarakat. Dan Kennedy ingin membalikkan situasi itu.
Pertimbangan strategis politik dan militer itulah yang menjadi landasan Kennedy dalam menetapkan program pendaratan manusia di Bulan sebagai salah satu tujuan nasional Amerika Serikat yang baru. Manusia harus mendarat di Bulan dan kembali lagi ke Bumi dengan selamat sebelum dekade 1960–an berakhir.
Begitu nekatnya, berapapun biayanya. Program penerbangan antariksa Amerika Serikat pun bertransformasi dari sekedar upaya ala kadarnya yang dibumbui persaingan antar angkatan dalam tubuh militer menjadi sebuah usaha tersistematis dan massif di bawah administrasi sipil baru bernama NASA dengan tujuan sangat jelas: Bulan.
Tembakan senapan runduk menutup usia Kennedy secara tragis di jalanan kota Dallas, Texas, pada 22 November 1963. Namun, bangunan dasar penerbangan antariksa Amerika Serikat tak berubah meski presiden silih berganti.
Lewat Program Ranger (1961–1965) yang setengah babak–belur, Amerika Serikat mendapatkan pelajaran berharga dalam mengorganisasi pengiriman wantariksa tak berawak ke Bulan. Program Surveyor (1966–1968) menumbuhkan dan melipatgandakan rasa percaya diri, di mana wantariksa tak hanya sekedar memotret namun juga memetakan sebagian wajah Bulan secara sistematis.
Baik Program Ranger maupun Program Surveyor meletakkan anak–anak tangga yang dibutuhkan dalam Program Apollo, payung bagi pendaratan manusia Amerika Serikat di Bulan.
Neil Armstrong dan Edwin Aldrin memang menjadi dua orang pertama yang menapakkan kaki di Bulan. Akan tetapi, tak hanya mereka saja yang pernah berkeliaran di wajah sang candra.
Secara keseluruhan terdapat 12 orang yang pernah mendarat dan mengeksplorasi Bulan. Empat di antaranya masih hidup hingga saat ini, yakni Edwin Aldrin (Apollo 11), David Scott (Apollo 15), Charles Duke (Apollo 16) dan Harrison Schmitt (Apollo 16).
Lalu, ada dua belas orang pula yang pernah meninggalkan orbit Bumi guna mengorbit sang candra, dengan empat di antaranya telah berpulang.
Di balik langkah–langkah ke–24 orang tersebut, terhampar upaya pengerahan sumber daya manusia dan finansial dalam skala raksasa yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan belum pernah terulang lagi hingga masa kini.
Sempat terbelalak menatap usulan anggaran senilai hampir 90 miliar dollar AS (berdasarkan nilai mata uang 2018) diajukan ke meja kerjanya di Gedung Putih, Kennedy lantas menandatanganinya tanpa banyak cingcong.
Kelak anggaran program pendaratan manusia di Bulan membengkak hingga 158 miliar dollar AS. Itu belum terhitung anggaran Program Ranger (1 miliar dollar AS) dan Program Surveyor (3 miliar dollar AS).
Jika dirupiahkan, anggaran Program Apollo setara dengan Rp 2.200 triliun (berdasarkan kurs 2018), sehingga ongkos tiket setiap astronot yang terbang ke Bulan saat itu mencapai Rp 91 triliun.
Selain dana luar biasa besar, Amerika Serikat juga mengerahkan sumber daya manusia terbaiknya dalam skala yang belum pernah ada. Pada puncaknya, Program Apollo mempekerjakan 400.000 orang yang melibatkan 20.000 firma industri dan universitas di segenap penjuru.