KOMPAS.com – Kicauan Lisa Marlina dengan nama akun @lisaboedi di Twitter sedang menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Pasalnya, desainer ternama asal Bali, Ni Luh Djelantik, berencana untuk melaporkan Lisa Marlina ke polisi karena kicauannya dianggap telah melecehkan martabat masyarakat Bali.
Belakangan, Lisa Marlina meminta maaf di Twitter karena kurang hati-hati dalam menyampaikan pendapat dan telah melakukan typo saat terlalu emosi membalas pengguna Twitter lain.
Selain Lisa Marlina, kejadian serupa juga sudah pernah terjadi di Indonesia. Jika Anda masih ingat, dulu ada kasus Florence Sihombing yang juga dianggap menghina warga Yogyakarta di media sosial. Di luar negeri, juga ada banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan harus berurusan dengan hukum karena unggahan yang salah di media sosial.
Kasus-kasus semacam ini membuat para ahli bertanya-tanya, mengapa kita susah bersikap bijak di media sosial dan malah jadi lebih agresif ketika hanya berhadapan dengan layar?
Baca juga: Kenapa Kita Suka Membandingkan Diri dengan Orang Lain di Media Sosial?
1. Kontrol diri yang menurun
Sebuah studi yang mempelajari perilaku pengguna Facebook oleh profesor Universitas Kolombia Keith Wilcox dan profesor Universitas Pittsburgh Andrew Stephen mengungkapkan bahwa media sosial memang menurunkan batas kontrol diri kita. Efek ini paling terasa pada orang-orang yang jaringan Facebooknya terdiri dari teman-teman yang paling dekat.
Dijelaskan dalam artikel Wall Street Journal, 2 Oktober 2012; hampir semua orang menampilkan citera yang melebihi diri asli di Facebook. Ketika mendapat tanggapan positif, misalnya dalam bentuk “like”, ego kita pun naik dan kontrol diri menurun.
Wilcox mengatakan, anggap itu seperti efek perizinan: Anda merasa senang dengan diri Anda sendiri sehingga merasa memiliki hak. Lantas untuk melindungi pandangan yang meningkat itu, beberapa orang kemudian membalas dengan keras terhadap orang-orang yang tidak sependapat.
Baca juga: Penemuan yang Mengubah Dunia: Media Sosial, Kenapa Bikin Panik saat Diblokir?
2. Aksesibilitas
Selain kontrol diri yang rendah, aksesibilitas media sosial dari mana saja dan kapan saja juga membuat kita rentan mengunggah hal-hal yang tidak bijak hanya karena emosi sesaat, ujar Craig Blewett, dosen senior edukasi dan teknologi di University of KwaZulu-Natal
Dalam artikelnya di The Conversation, 11 Januari 2017, Blewett menulis bahwa pada zaman pre-teknologi, seseorang yang ingin meluapkan kemarahannya harus mencari alamat koran lokalnya, menulis surat dan mengirimkannya. Dalam jeda waktu tersebut, bisa jadi kemarahannya memudar. Hal ini jelas tidak sama dengan media sosial yang bersifat instan.
“Teknologi baru dengan aksesnya di mana-mana telah mengubah kita, sebagian besar tanpa kita sadari, dari konsumen konten pasif menjadi produser konten aktif. Banyak orang secara siap berasimilasi dengan manfaat akses permanen ke sebuah platform publikasi, tetapi tidak cukup cepat untuk menyadari tanggung jawab yang menyertai peran sebagai penerbit konten,” tulisnya.
Baca juga: Studi: Perilaku Pecandu Media Sosial Mirip Kecanduan Narkoba
3. Tidak ada reaksi dari orang lain
Blewett juga berkata bahwa di dunia nyata, keberadaan fisik orang lain sering kali menjadi pembatas akan apa yang ingin kita katakan. Nah, ketika hanya berhadapan dengan gadget, muncul ruang spasial antara pengunggah dan audiens yang membuat seseorang menjadi lebih berani untuk berekspresi.
Sependapat dengan Blewett, Sherry Turkle yang merupakan psikolog dan profesor ilmu sains dan teknologi dari Massachusetts Institute of Technology menjelaskan kepada Wall Street Journal bahwa kesulitan untuk melihat reaksi dari audiens membuat kita menjadi lebih tidak terkontrol di internet.