Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sains Diet, Kuning Telur Perlu Dihindari atau Tidak?

Kompas.com - 15/07/2019, 18:08 WIB
Kontributor Sains, Prita Prametya Kirana,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Telur adalah makanan kaya gizi yang terkadang menyebabkan perpecahan kubu di antara penggemarnya. Ada yang suka putihnya saja, ada yang suka kuningnya saja, lalu ada juga yang suka keduanya.

Bagi tim pecinta putih telur, kadang ada rasa berat hati karena telah menyia-nyiakan makanan. Bagi pecinta kuning telur, kadang ada rasa was-was ketika mengonsumsinya dalam jumlah berlebihan. Jadi, sebaiknya bagaimana?

Telur banyak sekali mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh dan mudah diolah menjadi berbagai jenis makanan, sehingga dapat ditemukan hampir di seluruh budaya kuliner dunia.

Seperti yang diutarakan oleh ahli teknologi pangan Ingrid Seuss-Beum dari University of Applied Sciences Fulda di Jerman, jumlah kalori pada sebutir telur berukuran sedang (53 gram) adalah 82 kcal.

Baca juga: Sains Diet, Benarkah Tidak Makan Nasi Bikin Cepat Langsing?

Telur juga mengandung protein, karbohidrat, lemak, asam amino esensial serta mineral yang jarang ditemukan dalam jumlah besar di makanan lain. Sebagai contoh adalah asam folat yang berperan dalam pembentukan janin pada ibu hamil. Lalu, ada juga vitamin B12 yang baik untuk saraf dan peredaran darah merah.

Salah satu kandungan nutrisi terbesar yang ditemukan dalam telur adalah lemak. Dalam jurnalnya, Nys dan Saveur pada tahun 2004 mencatat bahwa lemak yang ditemukan dalam kuning telur sebanyak 34,5 gram per 100 gram kuning telur. Sementara itu, dalam putih telur hanya ditemukan 0,1 gram lemak per 100 gramnya.

Banyak orang mengasosiasikan lemak sebagai zat jahat yang tidak baik untuk dikonsumsi. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Lemak dapat di kategorikan menjadi tiga, yaitu lemak jenuh, lemak tidak jenuh, dan lemak trans. Pengelompokan ini di lakukan berdasarkan struktur kimia dari masing-masing kategori.

Lemak jenuh, menurut ensiklopedi Britannica, disebut jenuh karena karbon (sebagai rangka utama pembentuk asam lemak) berikatan dengan hidrogen pada kapasitas maksimal. Dengan kata lain, konfigurasi ini tidak memungkinkan karbon untuk berikatan dengan unsur lain dan sangat stabil karena komposisi dan struktur kimianya yang sangat monoton.

Baca juga: Baru Sahur dengan Nasi, Mi Instan dan Telur? Ini Pendapat 3 Ahli

Zat kimia yang stabil seperti lemak jenuh membutuhkan banyak energi untuk dipecah menjadi struktur yang lebih sederhana, tetapi juga menghasilkan banyak energi untuk digunakan oleh tubuh.

Sementara itu, lemak tidak jenuh memiliki struktur yang cukup berbeda dibandingkan lemak jenuh. Komposisi lemak tidak jenuh tetap mengandung unsur karbon sebagai rangkanya, namun konsentrasi hidrogennya tidak sebanyak pada lemak jenuh.

Karbon dapat berikatan dengan hidrogen maksimal dua atom hidrogen per atom karbon. Namun pada lemak tidak jenuh, ada karbon yang berikatan hanya dengan satu hidrogen saja. Ini menyebabkan perubahan struktur asam lemak jenuh dan terbentuknya ikatan ganda diantara karbon tersebut.

Pada lemak trans, hidrogen yang berikatan dengan karbon berikatan ganda ini mengalami perubahan konfigurasi sehingga letaknya berseberangan dan tidak sejajar.

Dikutip dalam situs resmi Harvard School of Public Health, setiap makanan mengandung campuran dari ketiga macam lemak di atas. Contoh makanan yang dominan lemak jenuh antara lain adalah minyak kelapa dan segala jenis makanan yang mengandung lemak hewani.

Baca juga: Perdebatan Usai, Ini Batas Konsumsi Telur yang Dianjurkan Pakar

Telur memang makanan yang bersumber dari hewani sehingga didominasi oleh lemak jenuh. Namun, ternyata dalam telur jenis tertentu juga terkandung salah satu lemak tidak jenuh yang disebut omega 3.

Omega 3 adalah lemak tidak jenuh yang terkandung dalam kuning telur dan hanya bisa diperoleh dari makanan karena tubuh manusia tidak dapat memproduksinya sendiri. Omega 3 ini sangat penting untuk pertumbuhan otak pada janin ketika di konsumsi oleh ibu hamil, juga kesehatan saraf dan otak bagi yang mengonsumsinya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com