Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sains Diet, Benarkah Tidak Makan Nasi Bikin Cepat Langsing?

Kompas.com - 08/07/2019, 17:35 WIB
Kontributor Sains, Prita Prametya Kirana,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tidak makan nasi sama saja dengan belum makan. Itulah anggapan yang selama ini beredar di masyarakat. Kelebihan berat badan juga diidentikkan sebagai akibat dari pola makan yang berlebihan, sehingga mengurangi atau menghindari nasi dianggap cara yang paling manjur untuk mengontrol berat badan. Namun, benarkah demikian?

Kebiasaan makan nasi di Indonesia sebagai makanan pokok berawal dari kolonisasi suku Austronesian yang bergerak ke arah selatan setelah berhasil menduduki pesisir timur daratan China.

Sebuah penelitian statistik oleh Silva dan kolega pada tahun 2015 yang mengacu pada data arkeologi padi selama 400 tahun terakhir menyebutkan bahwa padi pertama kali di tanam di sekitar region Yangtze tengah dan selatan pada tahun 5000 SM, sebelum kemudian di tanam di pesisir Asia Tenggara 3.500 tahun kemudian.

Sampai hari ini pun, nasi telah menjadi makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat.

Baca juga: Jangan Salah, Rutin Makan Nasi Putih Tingkatkan Risiko Diabetes

Namun nyatanya, karbohidrat tidak hanya ditemukan dalam nasi. Karbohidrat sebagai salah satu sumber energi bagi manusia juga dapat ditemukan pada bahan makanan lainnya, seperti roti, biji-bijian, kentang, bahkan buah dan sayuran.

Selain itu, tubuh manusia juga dapat mengubah energi dari dua bahan bakar lainnya yaitu protein dan lemak menjadi komponen karbohidrat ketika tubuh tidak memiliki cadangan karbohidrat yang cukup. Proses ini disebut glikonegenesis.

Oleh karena itulah; karbohidrat, protein dan lemak secara kolektif sering juga disebut sebagai makronutrien.

Sekarang, bayangkan struktur kimia karbohidrat seperti rantaian gelang mutiara. Semakin panjang rantainya, semakin banyak energi yang kita habiskan untuk mengumpulkan kembali biji mutiara apabila gelang ini terputus.

Baca juga: Nasi, Kentang, Jagung: Mana yang Lebih Baik Bagi Penderita Diabetes?

Albert L Lehninger, seorang ahli biokimia dalam bukunya Principles of Biochemistry menjelaskan bahwa karbohidrat terbentuk dari rantaian komponen pembentuknya yang disebut sakarida.

Semakin kompleks dan panjang rantaian karbohidrat ini, semakin banyak pula energi dan waktu yang di perlukan untuk memecahnya menjadi monosakarida – gugus gula yang siap diserap tubuh manusia untuk dirubah menjadi energi.

Proses perubahan gula menjadi energi oleh tubuh lagi-lagi diawali dengan memecahkan monosakarida melalui proses glikolisis, di mana senyawa piruvat akan terbentuk dan diubah menjadi senyawa bernama asetil-KoA melalui serangkaian reaksi enzimatik.

Asetil-KoA inilah yang kemudian digunakan untuk memulai siklus asam sitrat atau dikenal juga sebagai Krebs’ cycle.

Dijelaskan oleh Antonio Blanco, Profesor Emeritus dari Universitas Nasional Cordoba - Argentina dalam buku Medical Biochemistry, dibutuhkan dua kali siklus asam sitrat untuk memecah satu unit glukosa.

Baca juga: Sindrom Nasi Goreng, Infeksi Bakteri yang Paling Sering Serang Manusia

Ini berarti untuk satu unit glukosa yang telah bereaksi secara sempurna, akan dihasilkan 30 hingga 38 unit Adenosin trifosfat (ATP), satuan molekul energi dalam tubuh kita.

ATP terlibat dalam berbagai macam reaksi kimia sel agar tubuh dapat melakukan fungsinya, seperti mengontraksikan otot agar kita dapat bergerak dan jantung dapat tetap berdenyut untuk memompa darah ke seluruh tubuh.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau