Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Kasus Ikan Asin, Bagaimana agar Anak Tidak Jadi Misoginis?

Kompas.com - 12/07/2019, 17:08 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

Sumber slate.com,Vox

Nah, semakin kuat stereotipe gender ini tertanam dalam kepala anak-anak, semakin mudah bagi mereka untuk memutuskan bahwa laki-laki lebih baik daripada perempuan hanya karena alasan biologis. Ketika anak-anak memasuki masa puber, stereotipe ini kemudian diseksualisasi.

Baca juga: Popularitas Bau Ikan Asin Meroket, Dari Mana Aroma Khasnya Muncul?

Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Adolescent Health pada 2017 menemukan bahwa anak-anaka dengan stereotipe gender kuat meyakini bahwa anak laki-laki terus-terusan mencari seks dan perempuan seharusnya berusaha untuk tampak cantik agar menarik perhatian seksual laki-laki.

Studi lain yang dipublikasikan dalam jurnal Sex Roles pada 2013 juga menemukan bahwa semakin kuat keyakinan laki-laki terhadap stereotipe gender saat masa kanak-kanak, semakin mungkin juga bagi mereka untuk membuat komentar seksual, mengungkapkan candaan seksual di hadapan perempuan dan bahkan menyentuh perempuan tanpa izin.

Menariknya, keyakinan mengenai stereotipe gender ditemukan sering kali lebih kuat pada anak laki-laki daripada perempuan. Hal ini mungkin karena laki-laki lebih mendapatkan tekanan dari keluarga dan lingkungan untuk mengikuti ekspektasi gendernya daripada perempuan.

Bagaimana solusinya?

Untungnya, masih ada harapan untuk mencegah anak-anak terbelenggu dalam stereotipe gender.

Cara paling mudah untuk membangun rangka mental yang mengormati kesetaraan gender, menurut Carol Martin dari Arizona State University, adalah dengan mendorong anak-anak untuk bermain dengan lawan gendernya.

Dalam studi tahun 2001, Martin dan koleganya Richard Fabes yang mengamati pola bermain pada anak-anak playgroup menemukan bahwa anak-anak yang hanya bermain dengan sesama gendernya memiliki perilaku yang lebih mengikuti stereotipe gender.

Baca juga: Penemuan yang Mengubah Dunia: Ikan Asin, Bantu Eropa Temukan Dunia Baru

Martin mengatakan, ketika mereka bermain bersama, anak laki-laki dan perempuan belajar mengenai satu sama lain dan kemiripan mereka, menjadi lebih nyaman satu sama lain, dan kami yakin bahwa ini bisa memberi mereka semacam resiliensi sosial untuk menghadapi berbagai pengalaman sosial.

Kedua, Bigler menyarankan orangtua untuk menunjuk stereotipe gender yang terlihat oleh anak-anak, baik itu di televisi atau lingkungan, dan mendiskusikannya bersama. Terutama ketika anak-anak sendiri yang membuat komentar seksis, orangtua harus bisa secara verbal menantangnya.

Dalam sebuah studi pada 2009, Bigler dan koleganya melatih sekelompok anak-anak berusia 5-10 tahun untuk menantang komentar-komentar seksis secara verbal. Sebagai contoh adalah ketika mendengar bahwa mereka tidak boleh ikut bermain karena perempuan, mereka diajari untuk merespons dengan “Kamu tidak bisa bilang bahwa perempuan tidak boleh ikut bermain”.

Hanya dengan satu pelatihan, Bigler menemukan bahwa anak-anak terus menggunakannya hingga enam bulan kemudian. Anak perempuan dalam studi juga ditemukan bahwa menjadi lebih egaliter dalam kepercayaan gendernya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Sumber slate.com,Vox
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com