Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Kasus Ikan Asin, Bagaimana agar Anak Tidak Jadi Misoginis?

Kompas.com - 12/07/2019, 17:08 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

Sumber slate.com,Vox

KOMPAS.com – Perhatian publik tengah tersita oleh kasus video ikan asin. Dalam video tersebut, Galih Ginanjar membandingkan mantan istrinya dan istrinya yang sekarang untuk urusan ranjang.

Menurut pakar studi gender dan budaya dari Universitas Sebelas Maret, Sri Kusumo Habsari, PhD, kata-kata Galih mengandung unsur misoginis. Muatan misoginis tersebut berbuntut panjang hingga akhirnya Galih ditangkap.

Dalam wawancara bersama Sean Illing dari Vox, 7 Februari 2018, profesor filosofi dari Cornell University Kate Manne menjelaskan bahwa walaupun berbeda, misogini dan seksisme saling berhubungan. Seksisme adalah ideologi yang mendukung hubungan sosial bersifat patriarki, sedangkan misogini memaksa ketika sistem tersebut terancam.

Seksisme merupakan keyakinan yang mendiskriminasi berdasarkan jenis kelamin atau gender, sedangkan misogini, menurut Habsari, merupakan kebencian laki-laki terhadap perempuan.

Oleh karena itu, cara untuk mengurangi misogini adalah dengan mengurangi seksisme itu sendiri.

Baca juga: Menurut Pakar Gender, Video Ikan Asin Ungkap Watak Pria Misoginis

Dari mana asalnya?

Dilansir dari Slate, 6 November 2017, seksisme sebetulnya tidak muncul secara tiba-tiba, ia ditanamkan pada masa kanak-kanak.

Rebecca Bigler, seorang psikolog dan peneliti studi perempuan dan gender di University of Texas at Austin, menjelaskan bahwa anak-anak mempelajari peran gender dari orang-orang dewasa di sekitarnya.

Setidaknya hingga usia satu tahun, bayi baru bisa membedakan wajah laki-laki dan perempuan, tetapi belum mengerti gender dan pentingnya gender. Setelah mereka mulai belajar untuk memperhatikan gender, anak-anak kemudian membuat stereotipe, misalnya laki-laki bermain sepak bola dan perempuan memasak, berdasarkan apa yang mereka lihat.

Seiring dengan pembentukan stereotipe gender ini, anak-anak juga mulai mengikutinya karena mereka mendapatkan reward (penghargaan).

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa orangtua, khususnya ayah, sering kali memberi anak mainan sesuai gendernya dan memarahi anak bila alat permainannya tidak mengikuti stereotipe. Penelitian juga menunjukkan bahwa orangtua menjadi lebih toleran ketika yang menunjukkan sikap agresif adalah anak laki-laki dan bukan perempuan.

Baca juga: Belajar dari Video Ikan Asin Galih Ginanjar, Bolehkah Review Pasangan Seksual di Medsos?

Pembentukan identitas berdasarkan stereotipe ini juga dilanggengkan di sekolah oleh guru dan anak-anak lainnya.

Sebuah studi yang mengobservasi perilaku anak-anak TK ketika bermain menemukan bahwa ketika ada anak laki-laki yang menunjukkan ketertarikan terhadap permainan boneka atau masak-masakan, anak laki-laki lain akan menginterupsinya dengan memukul atau menghina.

Stereotipe ini kemudian bisa terbawa hingga usia 8-10 tahun ketika anak-anak mulai mengembangkan fleksibilitas kognitif dan moral reasoning.

Campbell Leaper, seorang pakar psikologi sosial dan pengembangan dari University of California, Santa Cruz berkata bahwa pada masa inilah, anak-anak mulai memoralkan stereotipe. Mereka bisa menganggap bahwa anak perempuan memang sudah seharusnya pendiam dan anak laki-laki memang sudah seharusnya berani.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau