KOMPAS.com – Perhatian publik tengah tersita oleh kasus video ikan asin. Dalam video tersebut, Galih Ginanjar membandingkan mantan istrinya dan istrinya yang sekarang untuk urusan ranjang.
Menurut pakar studi gender dan budaya dari Universitas Sebelas Maret, Sri Kusumo Habsari, PhD, kata-kata Galih mengandung unsur misoginis. Muatan misoginis tersebut berbuntut panjang hingga akhirnya Galih ditangkap.
Dalam wawancara bersama Sean Illing dari Vox, 7 Februari 2018, profesor filosofi dari Cornell University Kate Manne menjelaskan bahwa walaupun berbeda, misogini dan seksisme saling berhubungan. Seksisme adalah ideologi yang mendukung hubungan sosial bersifat patriarki, sedangkan misogini memaksa ketika sistem tersebut terancam.
Seksisme merupakan keyakinan yang mendiskriminasi berdasarkan jenis kelamin atau gender, sedangkan misogini, menurut Habsari, merupakan kebencian laki-laki terhadap perempuan.
Oleh karena itu, cara untuk mengurangi misogini adalah dengan mengurangi seksisme itu sendiri.
Dari mana asalnya?
Dilansir dari Slate, 6 November 2017, seksisme sebetulnya tidak muncul secara tiba-tiba, ia ditanamkan pada masa kanak-kanak.
Rebecca Bigler, seorang psikolog dan peneliti studi perempuan dan gender di University of Texas at Austin, menjelaskan bahwa anak-anak mempelajari peran gender dari orang-orang dewasa di sekitarnya.
Setidaknya hingga usia satu tahun, bayi baru bisa membedakan wajah laki-laki dan perempuan, tetapi belum mengerti gender dan pentingnya gender. Setelah mereka mulai belajar untuk memperhatikan gender, anak-anak kemudian membuat stereotipe, misalnya laki-laki bermain sepak bola dan perempuan memasak, berdasarkan apa yang mereka lihat.
Seiring dengan pembentukan stereotipe gender ini, anak-anak juga mulai mengikutinya karena mereka mendapatkan reward (penghargaan).
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa orangtua, khususnya ayah, sering kali memberi anak mainan sesuai gendernya dan memarahi anak bila alat permainannya tidak mengikuti stereotipe. Penelitian juga menunjukkan bahwa orangtua menjadi lebih toleran ketika yang menunjukkan sikap agresif adalah anak laki-laki dan bukan perempuan.
Pembentukan identitas berdasarkan stereotipe ini juga dilanggengkan di sekolah oleh guru dan anak-anak lainnya.
Sebuah studi yang mengobservasi perilaku anak-anak TK ketika bermain menemukan bahwa ketika ada anak laki-laki yang menunjukkan ketertarikan terhadap permainan boneka atau masak-masakan, anak laki-laki lain akan menginterupsinya dengan memukul atau menghina.
Stereotipe ini kemudian bisa terbawa hingga usia 8-10 tahun ketika anak-anak mulai mengembangkan fleksibilitas kognitif dan moral reasoning.
Campbell Leaper, seorang pakar psikologi sosial dan pengembangan dari University of California, Santa Cruz berkata bahwa pada masa inilah, anak-anak mulai memoralkan stereotipe. Mereka bisa menganggap bahwa anak perempuan memang sudah seharusnya pendiam dan anak laki-laki memang sudah seharusnya berani.
Nah, semakin kuat stereotipe gender ini tertanam dalam kepala anak-anak, semakin mudah bagi mereka untuk memutuskan bahwa laki-laki lebih baik daripada perempuan hanya karena alasan biologis. Ketika anak-anak memasuki masa puber, stereotipe ini kemudian diseksualisasi.
Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Adolescent Health pada 2017 menemukan bahwa anak-anaka dengan stereotipe gender kuat meyakini bahwa anak laki-laki terus-terusan mencari seks dan perempuan seharusnya berusaha untuk tampak cantik agar menarik perhatian seksual laki-laki.
Studi lain yang dipublikasikan dalam jurnal Sex Roles pada 2013 juga menemukan bahwa semakin kuat keyakinan laki-laki terhadap stereotipe gender saat masa kanak-kanak, semakin mungkin juga bagi mereka untuk membuat komentar seksual, mengungkapkan candaan seksual di hadapan perempuan dan bahkan menyentuh perempuan tanpa izin.
Menariknya, keyakinan mengenai stereotipe gender ditemukan sering kali lebih kuat pada anak laki-laki daripada perempuan. Hal ini mungkin karena laki-laki lebih mendapatkan tekanan dari keluarga dan lingkungan untuk mengikuti ekspektasi gendernya daripada perempuan.
Bagaimana solusinya?
Untungnya, masih ada harapan untuk mencegah anak-anak terbelenggu dalam stereotipe gender.
Cara paling mudah untuk membangun rangka mental yang mengormati kesetaraan gender, menurut Carol Martin dari Arizona State University, adalah dengan mendorong anak-anak untuk bermain dengan lawan gendernya.
Dalam studi tahun 2001, Martin dan koleganya Richard Fabes yang mengamati pola bermain pada anak-anak playgroup menemukan bahwa anak-anak yang hanya bermain dengan sesama gendernya memiliki perilaku yang lebih mengikuti stereotipe gender.
Martin mengatakan, ketika mereka bermain bersama, anak laki-laki dan perempuan belajar mengenai satu sama lain dan kemiripan mereka, menjadi lebih nyaman satu sama lain, dan kami yakin bahwa ini bisa memberi mereka semacam resiliensi sosial untuk menghadapi berbagai pengalaman sosial.
Kedua, Bigler menyarankan orangtua untuk menunjuk stereotipe gender yang terlihat oleh anak-anak, baik itu di televisi atau lingkungan, dan mendiskusikannya bersama. Terutama ketika anak-anak sendiri yang membuat komentar seksis, orangtua harus bisa secara verbal menantangnya.
Dalam sebuah studi pada 2009, Bigler dan koleganya melatih sekelompok anak-anak berusia 5-10 tahun untuk menantang komentar-komentar seksis secara verbal. Sebagai contoh adalah ketika mendengar bahwa mereka tidak boleh ikut bermain karena perempuan, mereka diajari untuk merespons dengan “Kamu tidak bisa bilang bahwa perempuan tidak boleh ikut bermain”.
Hanya dengan satu pelatihan, Bigler menemukan bahwa anak-anak terus menggunakannya hingga enam bulan kemudian. Anak perempuan dalam studi juga ditemukan bahwa menjadi lebih egaliter dalam kepercayaan gendernya.
https://sains.kompas.com/read/2019/07/12/170800323/belajar-dari-kasus-ikan-asin-bagaimana-agar-anak-tidak-jadi-misoginis